Kamis, 06 November 2014

Journal pelecehan seksual



      Pelecehan Seksual terhadap anak-anak
Pengertian Pelecehan Seksual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
     Perbuatan penghinaan atau memandang rendah seseorang karena berlatar atau dengan alasan yang berkaitan dengan seks, jenis kelamin, atau aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan.
Pengertian Pelecehan Seksual menurut Undang- Undang
    SDO adalah sebuah undang-undang anti-diskriminasi yang disahkan pada tahun 1995. Menurut undang-undang ini, diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, status perkawinan dan kehamilan, serta pelecehan seksual adalah melanggar hukum. Perlindungan dalam undang-undang ini diberikan terdapat dalam bidang-bidang yang berlainan. Undang-undang ini berlaku bagi pria dan wanita. SDO juga menetapkan pembentukan Komisi Persamaan Kesempatan yang bekerja untuk menghapus diskriminasi dan pelecehan serta mempromosikan persamaan kesempatan antara pria dan wanita.
Pengertian Remaja Menurut Para Ahli
Menurut  Gunarsa, S., D.  yang mengutip dari Freud, A. (  “Adolesensia merupakan suatu masa yang meliputi suatu proses perkembangan dimana terjadi perubahan dalam hal motivasi seksual, organisasi  dari pada ego, dalam hubungan dengan orang tua, orang lain, dan cita-cita yang dikejarnya.” (Freud dikutip dalam Gunarsa
Jenis – Jenis Pelecehan seksual
Pemerkosaan
Penghinaan
Merendahkan harga diri

Penyebab Pelecehan Seksual terhadap Remaja
Kurangnya perhatian orang tua terhadap Remaja  
Pada masa kini, banyak orang tua yang di sibukkan dengan pekerjaannya. Karena tuntutan rutinitas sehari-hari, maka banyak orang tua yang kurang memperhatikan anaknya. Dan lebih banyak orang tua yang lebih memilih anaknya di asuh oleh seorang  pekerja rumah tangga, dibanding dengan mengasuh nya sendiri. Karena lebih memilih pekerjaan nya di banding mengasuh anaknya. Kurangnya perhatian orang tua terhadap anak bisa memicu anak terhadap hal yang negatif. Anak adalah anugerah dari sang pencipta, orang tua yang melahirkan anak harus bertangung jawab terutama dalam soal mendidiknya, baik ayah sebagai kepala keluarga maupun ibu sebagai pengurus rumah tangga.
Kurangnya pendidikan tentang seksual di kalangan masyarakat
Dewasa ini, banyak sekali yang perlu diberikan pendidikan. Tidak hanya pendidikan moral tetapi juga pendidikan seksual. Banyaknya kasus yang terjadi akhir-akhir ini, termasuk pendidikan yang  sangat terbatas di indonesia ini. Harusnya di indonesia memperbanyak pendidikan tidak hanya pendidikan seksual tetapi semua pendidikan yang layak di terima oleh anak-anak maupun remaja.
Kurangnya penyuluhan-penyuluhan tentang seksualitas di kalangan masyarakat
karena banyaknya keterbatasan setiap wilayah diindonesia ini, maka kurangnya penyuluhan-penyuluhan tersebut tidak dapat maksimal diterima oleh sebagian masyarakat besar. Harusnya penyuluhuan tersebut di perbanyak, agar dapat menambah wawasan masyarakat bahwa pentingnya pengarahan tentang seksual. Dan semakin gencarnya kejahatan pelecehan tentang seksual ini dapat berdampak buruk pada anak-anak usia remaja.

Dampak Pelecehan Seksual terhadap Remaja
Internal
Psikologis Anak terganggu untuk  yang mengalami kekerasan seksual. dampak jangka pendek akan mengalami mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan yang berlebihan pada orang lain, dan konsentrasi menurun yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan. Untuk jangka panjangnya, ketika dewasa nanti dia akan mengalami fobia pada hubungan seks. Bahkan bisa terjadi dampak yang lebih parah,  dia akan terbiasa dengan kekerasan sebelum melakukan hubungan seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa, anak tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya semasa kecilnya.
Eksternal
Anak cenderung lebih tertutup pada lingkungan sekitar, karena kemungkinan besar akan mengalami fobia untuk orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Karena berawal dari sebuah kekerasan atau pelecehan maka cenderung lebih tertutup.
Cara mengatasi Pelecehan Seksual
     Tumbuhkan keberanian pada anak. Ajarkan kepada anak anda jika dia diperlakukan tidak baik sama seseorang, dia harus berani menolak. Dia harus berani melaporkan ancaman tindakan kekerasan kepada orang yang dapat melindunginya, seperti orang tua, petugas keamanan, guru di sekolah, dll.  Ajarkan anak-anak jangan takut jika diancam seseorang atau diiming-imingi imbalan tertentu.
Memberikan pakaian yang tidak terlalu terbuka. Untuk menghindari tindakan yang tidak diinginkan terjadi pada anak kita. Tidak ada salahnya anda memberikan pakaian yang sopan dan tertutup. Karena bisa jadi pakaian yang terbuka akan semakin menarik perhatian para pelaku kejahatan seksual pada anak.
Memperkenalkan fungsi organ intim. Hal yang tidak kalah penting adalah, memberikan pengertian mengenai organ intim. Berikan pengertian bahwa organ intim adalah privasi yang tidak boleh orang lain mengetahuinya. Ajarkan pula mengenai hak privasi yang harus dimiliki oleh anak-anak.
Mengajarkan nilai-nilai agama. Nilai-nilai keagamaan perlu ditanamkan untuk menumbuhkan semangat tanggung jawab pada pribadi anak. Banyak hal positif yang dapat diambil dari mengajarkan nilai-nilai keagamaan. Seperti keadilan, kejujuran, kedisiplinan, respect terhadap kebaikan dan berani menolak kejelekan.
Jalin komunikasi dengan anak. Jalin hubungan komunikasi senyaman mungkin dengan anak. Orang tua adalah tempat pengaduan segala keluh kesah anak. Minta anak supaya terbuka mengenai segala aktivitas yang telah dikerjakan. Jadilah orang tua yang siap menjadi tempat curahan hati bagi anak.

Senin, 06 Oktober 2014

Manusia : Etos Kerja (field trip)

pada pertemuan ke 9 kemarin tepat tanggal 2 oktober 2014 kita melakukan field trip loh hehe cuss simak yaa foto-fotonyaa hehe






manusia dan etos kerja



1. Masyarakat Yunani dan Abad Pertengahan
Pada masyarakat Yunani kuno, kerja atau pekerjaan kurang mendapat perhatian. Bahkan ada kecenderungan kerja tidak dipandang sebagai sesuatu mendasar bagi perwujudan eksistensi manusia. Kita mengambil pandangan dua tokoh, yakni Plato dan Aristoteles sebagai landasam untuk menyatakan penilaian itu.
Dalam karya-karyanya, Plato jarang mengangkat topik tentang kerja atau pekerjaan sebagai bahan kajianya. Ia lebih banyak membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan konsep-konsep seperti konsep tentang jiwa. Menurut Plato, jiwa manusia memiliki struktur yang memuat tiga hal yaitu rasionalitas atau pikiran, keberanian, dan keinginan atau kebutuhan. Dari ketiga hal itu, yang menduduki posisi paling tinggi yaitu rasionalitas atau pikiran.
Plato lebih lanjut menyatakan bahwa kelas-kelas dalam negara juga mengikuti struktur jiwa tersebut. Ia menempatkan tiga unsur dalam jiwa sebagai dasar dari pembagian kelas. Oleh karena itu, Negara mempunya tiga pembagian kelas yaitu peringkat pertama terdapat para penasihat, para pembantu atau militer pada peringkat kedua dan peringkat ketiga ditempati oleh para penghasi yang terdiri dari para petani, pengusaha, tukang kayu, niagawan, dan sebagainya. Para penasihat menempati urutan pertama karena seluruh aktivitasnya bersumber pada akal budi, sedangkan para penghasil ditempatkan pada peringkat ketiga karena sumber kegiatanya berasal dari keinginan atau kebutuhan.
Dari klasifikasi sosial diatas maka terlihat jelas bahwa Plato mengunggulkan orang-orang yang dalam aktivitasnya sangat berkaitan dengan pikiran atau akal budi dan di satu sisi merendahkan orang-orang yang dalam aktivitasnya sangat berhubungan dengan ketubuhan di lain sisi. Dengan kata lain, aktivitas penting bagi manusia adalah berpikir. Mengenal ide-ide adalah kegiatan yang paling mendasar dalam pandangan Plato. Sebaliknya melakukan aktivitas yang berhubungan dengan badan kurang berharga. Karena kerja atau pekerjaan terkait dengan kebutuhan, maka aktivitas ini tidak memiliki arti penting. Tubuh bahkan dimata plato adalah penjara bagi jiwa manusia, karena tubuh membuat jiwa manusia tidak bebas.
Pandangan Aristoteles tentang makna kerja atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Plato. Menurut Aristoteles kerja yang menggunakan atau berhubungan dengan tubuh adalah kerja para "budak" dan Aristoteles memandang budak sebagai kelas masyarakat yang paling rendah dalam struktur masyarakat Yunani. Orang bebas bagi Aristoteles adalah orang yang menggunakan pikiranya untuk bertindak, bukan orang yang mengandalkan tubuhnya.
Jadi, seluruh kegiatan yang berhubungan dengan badan menurut Aristoteles kurang bernilai. Yang berharga adalah aktifitas intelektif atau berpikir. Itu berarti, esensi manusia ada pada kemampuan intelegensinya. Atas dasar ini, maka Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai animale rationale. Kerja badaniah merupakan selubung bagi kegiata berpikir, karena di dalamnya akal budi ditekan. Tubuh menghambat intelegensi.
Pandangan yang tidak terlalu berbeda ditemukan pada masyarakat Abad Pertengahan. Bagi masyarakat zaman ini, perhatian lebih ditekankan pada hal-hal spiritual. Maka hal yang penting dan berguna adalah kegiatan rohani.

2.  Masyarakat Reformasi dan Industrilisasi
Perubahan cara pandang tentang makna kerja terjadi pada masa Protestantisme dan diperteguh pada zaman industrialisasi. Melalui Marx Weber (1897-1974) protestantisme memunculkan konsep baru bahwa kerja dilihat sebagai sesuatu yang penting dalam dunia manusia. Kerja adalah sarana untuk mengembangkan pribadi dan dunia serta sarana bagi keselamatan jiwa. Calvin adalah tokoh yang pada zaman ini memandang kerja sebagai ungkapan rasa memiliki terhadap kerajaan surga.
Industrialisasi terjadi pertama kali di Inggris pada tahun 1750 yang bermula di Inggris. Industrialisasi merupakan perubahan secara pesat pada bidang pertanian, pertambangan, transportasi dan lain sebagainya. Hal ini berdampak besar dalam sistem ekonomi, politik dan sosial budaya di dunia. Pada masa industrialisasi, kerja tidak dilihat lagi dalam kerangka religius, melainkan dalam kerangka humanisasi. Perubahan ini terjadi seiring dengan kesadaran manusia yang semakin besar untuk mengakui dirinya sebagai subjek. Filsuf-filsuf yang berpandangan seperti ini antara lain John Locke (1632-1704), Adam Smith (1723-1790), George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1881), Karl Marx (1818-1883).

B.  Pandangan Beberapa Tokoh
1. Pandangan John Locke (1632-1704)
Dalam sejarah filsafa John Locke digolongkan sebagai filsuf yang meletakan dasar bagaimana kerja menjadi bagian penting dari eksistensi manusia. Ia menyatakan bahwa pekerjaan menciptakan hak, yang disebutnya sebagai hak alamiah. Ada tiga argumen dasar Locke untuk menempatkan kerja sebagai sesuatu yang mendasar bagi setiap manusia. Pertama, kelekatan kerja pada tubuh manusia. John Locke menegaskan bahwa kerja melekat pada tubuh manusia. Oleh Dengan menyatakan kerja sebagai hukum kodrat, maka Lock ingin menyatakan bahwa setiap orang mempunyai tugas untuk menghargai pekerjaan setiap orang.
Kedua, kerja merupakan perwujudan diri manusia. Bagi John Locke kerja menjadi tempat pengungkapan diri. Locke juga menegaskan bahwa melalui pekerjaan, manusia membebaskan dirinya dari ketergantungan terhadap alam. Di dalamnya ia menyatakan diri sebagai makhluk yang otonom. Karena alasan ini kerja berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.    
Ketiga, kerja berkaitan dengan hidup. Bagi John Locke hidup hanya bisa dipertahankan melalui kerja. Proses adaptasi alam disebut kerja. Jadi bekerja bagi manusia merupakan satu-satunya jalan untuk mempertahankan hidup.

 2. Pandangan Adam Smith (1723- 1890)
Adam Smith menguniversalkan makna kerja bagi manusia. Ia berpandangan bahwa seluruh kebudayaan merupakan hasil dari pekerjaan manusia. Ia mengelompokkan dua jenis pekerjaan, yakni pekerjaan yang produktif dan pekerjaan yang tidak produktif. Pekerjaan produktif ialah pekerjaan kaum tani, buruh, sedangkan pekerjaan yang tidak produktif adalah pekerjaan para prajurit, politisi dan ahli hokum.
Smith menunjukan tiga alasan pentingnya pembagian kerja. Pertama, meningkatkan kerajinan pada setiap pekerja yang pada giliranya memperbaiki kondisi hidup pekerja dan masyarakat ke arah yang lebih baik. Smith melihat bahwa pembagian kerja mendorong kemakmuran pribadi dan bersama karena melalui kerja peningkatan produk dapat dicapai.
Kedua, Pembagian kerja menyebabkan penghematan waktu. Artinya, pembagian kerja membuat seorang karyawan bekerja secara efisien.
Ketiga, pembagian kerja mendorong dan menimbulkan penemuan mesin-mesin baru yang mempermudah sekaligus menghemat tenaga kerja. Smith menyatakan bahwa pembagian kerja membuat pekerja memiliki kesempatan untuk memikirkan cara-cara baru dalam meningkatkan produktivitasnya.

   3. Pandangan George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1881)
George Wilhelm Friedrich Hegel menempatkan pekerjaan sebagai keseluruhan konteks kegiatan manusia. Ia menilai bahwa kerja merupakan sesuatu yang dinamis, berkembang dan menjadi sarana bagi manusia untuk menyadari diri melalui taraf-taraf dialektis yang semakin mendalam. Artinya, manusia menemukan diri apabila menyadari sepenuhnya apa yang dikerjakanya.
Dengan menemukan dirinya, manusia semakin nyata. Jadi, kerja memainkan peran utama terhadap pengungkapan kepribadian manusia. Melalui kerja manusia merealisakian dirinya. Bagaimana manusia merealisasikan dririnya? Hegel menguraikan keterkaitan subjek dan objek. Dalam perjumpaan dengan objek-objek, manusia menyadari dirinya sebagai subyek. Bentuk kesadaran ini diungkapkan oleh Hegel dalam dua hal.
Pertama, kesadaran akan keakuan manusia secara negati. Artinya, ketika melihat objek-objek manusia menyadari dirinya bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek. Kedua, kesadaran bahwa tanpa objek, manusia tidak memiliki kesadaran. Itu berarti, manusia hanya dapat sadar akan dirinya ketika berada di tengah-tengah objek. Jadi struktur objek dan subjek merupakan struktur dasar kesadaran diri manusia. Atas dasar itu maka dalam pemikiran Hegel pekerjaan bagi manusia merupakan sebuah proses, tepatnya sebuah proses aktualisasi diri. Melalui pekerjaan, manusia membuktikan dimensi-dimensinya yang mendasar sebagai makhluk rohani dan makhluk transendental.

4. Pandangan Karl Marx (1818-1883)
Pandangan Hegel diatas memiliki arti penting bagi Karl Marx. Mengikuti pandangan Hegel, Karl Marx juga menempatkan pekerjaan sebagai realisasi diri melalu objektivasi. Ia mengakui bahwa pencapaian kenyataan manusia yang sepenuhnya hanya bisa terjadi melalui pekerjaan. Kendati dipengaruhi oleh Hegel, namun Marx mengembangkan lebih lanjut topik tentang kerja dengan memperlihatkan secara jelas keterkaitan kerja dengan aspek sosial dan historis yang tidak mendapat perhatian dalam pemikiran Hegel.
Bagi Marx, selain mengungkapkan dimensi personal, kerja juga mengungkapkan dimensi sosial. Hasil-hasil karya manusia tidak saja dinikmatinya sendiri, melainkan juga dirasakan oleh orang-orang lain, bahkan oleh orang-orang dari zaman yang berbeda. Dengan demikianbagi Marx kerja menjadi penghubung manusia dengan manusia yang lain, bahkan manusia dari satu generasi kegenerasi berikutnya.

C. Sejarah Kerja
Pengetian kerja berkembang dalam pemikiran-pemikiran dan tujuan-tujaun tentang kerja yang pada akhirnya memperkaya arti atau makna kerja itu sendiri. Sekitar 2600 tahun yang lalu di Yunani, Hesiodotus menulis sebuah puisi tentang kerja yang berjudul Work and Days. Di dalamnya ia berpendapat, bahwa kerja adalah isi utama dari kehidupan manusia. Di sini kerja dimaknai sebagai bagian sentral di dalam kehidupan manusia. Dengan pikiran dan tubuhnya, manusia mengorganisir pekerjaan, membuat benda-benda yang dapat membantu pekerjaannya tersebut, dan menentukan tujuan akhir dari kerjanya. Sejak dulu manusia sudah memiliki pandangan, bahwa kerja adalah sesuatu yang suci. Kerja adalah suatu bentuk panggilan dari Tuhan. Kerja adalah suatu pengabdian, apapun bentuknya, dan semua itu layak mendapatkan penghormatan.
Di Eropa pada abad ke-14, para rahib Benediktin bekerja di ladang dan sawah bergantian dengan mereka berdoa. Kerja tangan dianggap sebagai sesuatu yang sama sucinya seperti orang berdoa.
Plato menegaskan ada berbagai macam level manusia, dan setiap manusia memiliki pekerjaan yang sesuai dengan levelnya.  Pada masa perbudakan makna dan hakekat kerja mengalami perubahan dilihat dari derajat atau strata manusia. Di satu sisi kerja dipandang sebagai sesuatu yang rendah. Warga bangsawan tidak perlu bekerja. Mereka mendapatkan harta dari status mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada masa itu, manusia yang sesungguhnya tidak perlu bekerja. Ia hanya perlu berpikir dan menulis di level teoritis. Semua pekerjaan fisik diserahkan pada budak. Budak tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya.
Pada abad ke 17 dan 18, refleksi filsafat tentang kerja mulai berubah arah. Salah seorang filsuf Inggris yang bernama John Locke pernah berpendapat, bahwa pekerjaan merupakan sumber untuk memperoleh hak miliki pribadi.
Hegel, filsuf Jerman, juga berpendapat bahwa pekerjaan membawa manusia menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Karl Marx, murid Hegel, berpendapat bahwa pekerjaan merupakan sarana manusia untuk menciptakan diri. Dengan bekerja orang mendapatkan pengakuan.



D. Hakikat kerja
a. Definisi Kerja
Jika mencermati pandangan empat filsuf diatas, maka kita dapat mengambil kesimpulan, yakni keterkaitan kerja dengan eksistensi manusia. Kerja menyatu dengan keberadaan manusia. Dengan demikian, kerja adalah wadah bagi pembentukan diri manusia dalam membangun dunianya. Melalui tiga faktor yang diperlihatkan H Arvon membantu kita untuk menilai apakah sebuah kegiatan dapat disebut kerja atau tidak.
Ketiga faktor itu sebagai berikut. Pertama, keterlibatan dimensi subjek secara intensif. Yang dimaksudkan dimensi subjek adalah pikiran, kehendak dan kemauan serta kebebasan. Artinya, sebuah pekerjaan tidak dilakukan dengan asal-asalan, melainkan melibatkan totalitas diri subjek. Ia bekerja dengan cita, karsa dan rasa..
Kedua, hasil yang bermanfaat. Kerja selalu membawa hasil yang berguna. Itu berarti, kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat dan tidak membawa hasil,dengan jangka waktu panjang atau pendek, tidak bisa disebut sebagai kerja atau pekerjaan. 
Ketiga, mengeluarkan energi. Kerja itu memerlukan tenaga. Orang selalu membutuhkan kekuatan agar bisa kerja. Karena memerlukan tenaga, maka kerja atau pekerjaan selalu melelahkan. Berdasarkan faktor ini aktivitas santai atau tidak mengeluarkan tenaga tidak bisa dianggap sebagai kerja.

Dari tiga faktor diatas, dapat mendefinisikan bahwa kerja atau pekerjaan merupakan segala kegiatan yang direncanakan, yang melibatkan pikiran dan kemauan yang sungguh-sungguh serta memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Didalamnya dimensi spiritual dan material dilibatkan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

   b. Kerja Manusia vs Kerja Hewan  
Dari definisi di atas jelas bahwa kerja atau pekerjaan merupakan bagian eksistensi manusia. Persoalanya apa kekhasan kerja manusia dibandingkan dengan kerja binatang? Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa dalam tataran surgawi kerja manusia sama dengan kerja hewan. Sapi yang membajak sawah dan semut yang mengumpulkan makanan juga merupakan kerja fisik. Dalam hal ini, manusia tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan binatang. Akan tetapi dalam tataran intelektif antara kerja manusia dengan kerja binatang sangatlah berbeda.
Pertama, jenis energi yang dikerahkan. Hewan hanya bisa mengerahkan energi fisik. Meskipun hewan mungkin memiliki energi psikis, boleh dikatakan tingkatanya sangat primitif. Manusia memilikinya sebagai bagian dirinya dan karena itu ia mampu mengerahkan energi psikis dan mampu mengarahkan energi spiritual. 
Kedua, hasil kerja. Hasil kerja hewan pada dasarnya hanya sebatas untuk keperluan self survival dan spesiesnya berupa gerak, pemenuhan kebutuhan makan dan minum, keturunan, dan membuat tempat berteduh. Dengan demikian, hasil kerja binatang hanya untuk mempertahankan kebutuhan biologisnya. Akan tetapi hasil kerja manusia selalu memenuhi kebutuhan biologisnya. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan psikisnya dan pada tingkat lebih tinggi memenuhi kebutuhan spiritualnya juga. Oleh karena itu manusia mengenal konsep menabung dan mengumpulkan untuk masa depan.
Ketiga, dorongan kerja. Pada hewan dorongan kerja bersumber dari dan berupa naluri. Dorongan ini terdapat pada hewan secara alamiah, bagaikan software kehidupan yang berfungsi otomatis. Naluri itu mendorong binatang untuk beraktivitas dengan sendirinya. Tetapi manusia bekerja adalah aktivitas yang bebas karena manusia menentukan diri di dalamnya. Ia juga memiliki pilihan-pilihan dalam menggunakan alat-alat bekerja. Di satu pihak ia dapat memakai berbagai cara untuk tujuan yang sama, dan di lain pihak juga ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan.
Keempat, makna kerja. Manusia memberikan makna terhadap kerja dan kinerjanya, sedangkan binatang tidak. Manusia memiliki kualitas akal budi yang tinggi. Pemaknaan kerja dalam arti seluas-luasnya merupakan elemen dasar bagi manusia untuk membangun etos kerja yang bermutu tinggi dalam menekuni pekerjaannya dan ini tidak dimiliki oleh binatang.
 c. Dua Elemen Kerja
Dalam definisi tentang kerja sebelumnya, terlihat bahwa ada dua elemen penting suatu kegiatan disebutkan sebagai kerja atau pekerjaan. Kedua elemen itu adalah elemen subjek dan elemen objek. Elemen subjek adalah potensi atau kekuatan yang melekat di dalam diri manusia. Elemen ini meliputi pikiran, keinginan, hati, kebebasan, kehendak dan kemampuan.
Elemen objektif merupakan sarana pendukung untuk merealisasikan pikiran, rencana, serta kehendaknya. Artinya, selain elemen subjek manusia membutuhkan sarana pendukung untuk merealisasikan pikiran, kemauan dan rencananya. Dua elemen tersebut sangat penting dalam kerja. Kerja merupakan kombinasi antara elemen subjek dan elemen objek.

d. Peran Istimewa Tangan
Salah satu instrumen yang penting dalam diri manusia adalah tangan. Ada beberapa argumen untuk menyatakan keistimewaan tangan tersebut. Pertama, posisi vertikal tubuh manusia. Jika dibandingkan dengan binatang pada umumnya, tubuh manusia bersifat vertikal, sedangkan tubuh binatang cenderung bersifat horizontal. Vertikalitas ini membuat gerakan tangan lebih bebas dan dinamis.
Kedua, kekayaan fungsi tangan. Fungsi tangan sangat luas dibandingkan dengan organ tubuh yang lain. Hal ini disebabkan oleh vertikalitas tubuh manusia. Dengan tangan membagi, memegang dengan kuat, mendorong dan menarik. Tidak hanya itu, tangan juga berfungsi simbolik karena menghadirkan apa yang ada di dalam pikiran seseorang. Ketika terjadi sesuatu dalam tubuh, tangan melakukan tindakan cepat atas perintah akal budi. Tangan juga berhubungan dengan intelegensi.
Ketiga, tangan bersifat personal dan sosial. Tangan merupakan instrumen yang bersifat pribadi karena melalui tangan, seseorang bisa menyampaikan pikiran, dan keinginanya kepada orang lain. Tangan pula dapat menjadi instrumen merealisasikan kebebasan bagi seorang individu. Selain bersifat personal, tangan juga bersifat sosial.
Tangan disebut sosial karena menghubungkan manusia dengan manusia yang lain secara bebas. Tangan juga tidak hanya menghubungkan pribadi dengan pribadi tetapi manusia dengan dunia.
Melihat peran tangan yang begitu besar itu keistimewaan manusia atas binatang dalam bidang kerja, sebagaimana ditegaskan oleh Max Scheler tidak terletak pada banyaknya fakta bahwa manusia dapat menghasilkan alat-alat, melainkan pada kemampuanya untuk membentuk konsep tentang sebuah alat.




E. Tiga Dimensi Kerja
     a.    Dimensi Personal
Melalui kerja manusia menunjukan nilai kemanusiaanya. Inilah yang dimaksudkan bahwa kerja sebagai ungkapan pribadi. Dapat pula dikatakan dengan bekerja manusia membuktikan diri sebagai manusia. Ia tidak ditaklukan oleh kekuatan alam atau materi, tetapi menaklukanya sesuai dengan kemauanya. Jadi, kerja adalah proses subjektivikasi setiap individu. Karena itu kerja tidak tergantikan oleh siapapun. Kerja adalah ungkapan dari keunikan serta totalitas diri setiap pribadi.
Hegel dan Karl Marx sepakat untuk menyatakan bahwa kerja atau pekerjaan merupakan realisasi diri manusia. Ia sekaligus mentransformasikan diri dalam karya yang dihasilkanya, dan mengambil kemanusiaan untuk pemenuhan dirinya. Dengan demikian, kerja tidak hanya memperlihatkan aspek fisik saja, tetapi juga melibatkan aspek psikis. Bahkan Alport (1880-1995) dan Abraham Maslow (1909-1970) sebagaimana dikutip oleh Frank G Goble (1847-1901) menyatakan kepuasan dimensi psikis ini merupakan nilai tertinggi dari aktualisasi diri manusia. Melihat dimensi personal inilah, kerja merupakan sebuah hak asasi manusia, karena melekat dalam tubuh manusia. Kerja adalah milik diri setiap pribadi

b. Dimensi Sosial
     Selain mengungkapkan diri, kerja juga memiliki makna sosial. Hal ini seiring dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Martin Heidegger yang pendapatnya berkali-kali dikutip dalam bab sebelumnya menyatakan bahwa manusia adalah "hidup bersama dengan orang lain". Ada manusia adalah ada bersama dengan orang lain. Gagasan Hedegger ini mengandung makna bahwa apapun yang dilakukan manusia selalu melibatkan orang lain. Keterlemparan justru membuat manusia harus melakukan sesuatu sebagai tanda tanggungjawabnya terhadap orang lain
Karena itu, kerja tidak bisa terlepas dari bingkai sosialitas. Itu berarti kerja tidak saja merupakan wadah pernyataan diri, melainkan juga sarana perwujudan kepedulian setiap pribadi kepada orang lain. Kepuasan kerja tidak hanya bisa dinikmati oleh pekerja sendiri, tetapi juga dapat dirasakan oleh orang lain, bahkan oleh mereka yang hidup pada zaman yang berbeda. Pekerjaan menjadi ikatan anatara manusia dari satu generasi ke generasi yang berikutnya.
Jadi, pekerjaan merupakan jembatan antara umat manusia dari satu zaman ke zaman berikutnya. Inilah yang membuat manusia dapat mengenal sejarah masa lalunya. Karena aspek historis ini, pekerjaan justru menyatukan semua umat manusia dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman sebagaimana diakatakan oleh Paus Pius IX (1792-1878). Umat manusia disatukan sebagai satu komunitas umat manusia melalui kerja.
c. Dimensi Etis  
     Selain dimensi personal dan dimensi sosial, kerja juga memiliki aspek etis. Nilai ini justru menjadi landasan vital untuk mewujudkan dimensi personal dan dimensi sosial kerja. Di era modern ini nilai etis bahkan mendapat perhatian serius dalam pekerjaan.
Nilai-nilai etis yang dikandung atau dituntut dalam kerja yaitu Pertama, keadilan. Dalam berkerja setiap pribadi memiliki kewajiban untuk menghargai hak-hak dari orang lain. Plato menunjukkan bahwa dalam negara ada tiga kelas, yakni penasihat atau pembimbing, para pembantu atau militer dan penghasil. Setiap kelas justru bertugas untuk menjaga keselarasan setiap bagian. Inilah yang disebut oleh Plato bertindak adil. Jadi, keadilan merupakan moralitas jiwa yang mampu menjaga keseimbangan.
Kedua, tanggung jawab. Dalam hal ini kepedulian terhadap hidup orang menjadi tuntutan moral yang mendasar dalam pekerjaan. Menurut Adam Smith menyatakan bahwa setiap tindakan pribadi, termasuk tindakan pelaku ekonomi, harus dilihat sebagai ungkapan sikap simpati kepada orang lain. Karena itu, bagi Adam Smith kegitan ekonomi tidak saja bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya, melainkan juga mewujudkan kepedulian setiap pribadi pada orang lain.
Ketiga, kejujuran. Kejujuran merupakan nilai moral lain yang dituntut dalam pekerjaan. Prinsip ini merupakan keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki oleh seorang pekerja. Orang yang memiliki kejujuran tidak akan menipu orang lain.

F. Etos Kerja
                Menurut Usman Pelly (1992:12), etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budayaterhadap kerja. Dapat dilihat dari pernyataan di muka bahwa etos kerja mempunyai dasar dari nilai budaya, yang mana dari nilai budaya itulah yang membentuk etos kerja masing-masing pribadi.
Etos kerja dapat diartikan sebagai konsep tentang kerja atau paradigma kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang diwujudnyatakan melalui perilaku kerja mereka secara khas (Sinamo, 2003,2).

Menurut Toto Tasmara, (2002) Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik. Etos kerja berhubungan dengan beberapa hal penting seperti:

a. Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik, baik waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin.
b. Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang sangat penting guna efesien dan efektivitas bekerja.
c. Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan kesungguhan.
d. Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros, sehingga bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.
e. Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang dilakukan tidak mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri.

Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu sebagai seorang pengusaha atau manajer. Menurut A. Tabrani Rusyan, (1989) fungsi etos kerja adalah:
(a)    pendorang timbulnya perbuatan.
(b)    Penggairah dalam aktivitas.
(c)    Penggerak, seperti mesin bagi mobil.

G. Cara Menumbuhkan Etos Kerja :
1. Menumbuhkan sikap optimis :
- Mengembangkan semangat dalam diri.
- Peliharalah sikap optimis yang telah dipunyai
- Motivasi diri untuk bekerja lebih maju.
 2. Jadilah diri anda sendiri :
- Lepaskan  impian
- Raihlah cita-cita yang anda harapkan
3. Keberanian untuk memulai :
- Jangan buang waktu dengan bermimpi
- Jangan takut untuk gagal
- Merubah kegagalan menjadi sukses
4. Kerja dan waktu :
- Menghargai waktu (tidak akan pernah ada ulangan waktu)
- Jangan cepat merasa puas.
5. Konsentrasi dan focus pada pekerjaan.
H. Kerja Bermartabat
Temuan Kevin Roose dan catatan Prof. Alexander Michel mendorong kita untuk bertanya, “Apakah manusia harus bekerja tanpa mengenal batas kemampuannya?” “Apakah alasan manusia bekerja?” “Apakah dapat dibenarkan secara etis jika manusia mereduksikan pekerjaan kepada semata-mata sarana untuk merealisasikan kepentingan ekonomi? Kasdin Sihotang, pengajar Etika Bisnis di Fakultas Ekonomi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya menerbitkan sebuah buku berjudul Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses (2014). Apa yang dimaksud dengan kerja bermartabat? Umumnya perusahaan-perusahaan memahami kerja bermartabat sebagai “komitmen setiap organisasi untuk membangun lingkungan kerja yang kondusif dan positif sedemikian rupa sehingga terbangun hubungan kerja yang manusiawi.” Untuk merealisasikan hal ini, umumnya perusahaan-perusahaan menginisiasi terbentukna prosedur, kebijakan, dan standar perilaku tertentu yang mengikat setiap karyawan. Beberapa prinsip yang biasanya diacu sebagai pendefinisi kerja bermartabat meliputi hak seorang pekerja untuk (1) diperlakukan secara bermartabat; (2) bekerja dalam lingkungan atau suasana kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan; (3) bebas dari ketakutan dan diskriminasi; (4) menerima penghargaan atas keterampilan dan kemampuan profesionalnya; (5) menerima penghasilan yang layak.
Merujuk ke distingsi Hannah Arendt mengenai labour, work dan activity, Kasdin Sihotang berpendapat bahwa manusia tidak sekadar bekerja (labour), tetapi juga berkarya dan mewujudkan dirinya secara utuh. Bekerja pada level paling dasar dilakukan manusia karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (labour), dan ini menempatkan manusia pada level biologis, sama seperti yang dilakukan binatang.
Padahal, manusia bukan sekadar pekerja (homo laborans), tetapi juga subjek atas pekerjaan (homo faber). Dengan menjalankan pekerjaan, manusia merealisasikan seluruh kemampuan dirinya. Manusia adalah tujuan pada dirinya. Dengan bekerja, manusia merealisasikan tujuannya, nilai-nilai yang dihayatinya, serta imbalan yang pantas dengan profesinya. Bekerja memiliki orientasi individual, tetapi juga sosial. Pekerjaan memiliki nilai-nilai tanggung jawab, keadilan, kejujuran, dan kepercayaan. Kerja bahkan merealisasikan spiritualitas tertentu, bahwa Tuhan memanggil setiap orang untuk membangun dunia menjadi lebih baik.
Dalam arti itu, dapat disimpulkan bahwa etos kerja yang dibangun perusahaan jasa keuangan sebagaimana dideskripsikan di atas telah melupakan dimensi kerja bermartabat. Tampak jelas bahwa pekerjaan telah direduksikan hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan, dan itu artinya menyamakan pekerjaan (profesi) dengan kerja tangan dalam arti labour menurut Arendt. Padahal, menurut alur pemikiran yang dibangun Kasdin Sihotang, kerja tidak hanya bernilai personal, tetapi juga sosial, etis dan spiritual. Bahkan pada level sangat personal pun kerja tidak bisa direduksikan sebagai kerja tangan dalam arti peyoratif (tanpa kebebasan), karena secara filosofis, tangan dan keterampilannya justru mencerminkan kebebasan manusia. “Bagaimana mewujudkan kerja bermartabat?” Bagi Kasdin, kode etik profesi dapat diandalkan sebagai semacam sarana untuk mewujudkan kerja bermartabat. Kasdin Sihotang membayangkan bahwa kode etik profesi yang adalah prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar suatu pekerjaan (prinsip kejujuran, tidak berperilaku buruk, tidak melanggar hukum, berperilaku adil dan proporsional, dan semacamnya), jika dilaksanakan secara konsekuen, dapat mewujudkan kerja bermartabat.
Dari simpul inilah Kasdin Sihotang kemudian menarasikan, ketika dia terutama mengeksplorasi apa itu profesi dan ciri-ciri profesi sebelum kemudian menegaskan prinsip-prinsip etika profesi. Pertanyaannya, mengapa kemudian buku ini harus mendeskripsikan secara panjang lebar teori-teori etika dasar. Tampaknya Kasdin Sihotang terjebak dalam pemikiran bahwa etika profesi mengandung prinsip-prinsip moral yang perwujudannya menjadi semacam jaminan bagi terciptanya sebuah kerja yang bermartabat. Pendekatan semacam ini tidak sepenuhnya salah jika kita memahami bahwa buku ini dibaca dan digunakan oleh mahasiswa yang belum pernah mempelajari etika dasar sebelumnya. Kelemahannya, kajiannya menjadi terlalu panjang dan melelahkan. Menurut saya, seseorang dapat memahami etika profesi tanpa memahami secara mendalam etika dasar. Prinsip-prinsip etika dasar seperti deontologi dan utilitarisme sebetulnya dapat dijelaskan ketika membicarakan prinsip etika profesi tertentu. Toh prinsip-prinsip etika profesi, sejauh itu ada pada level etika terapan, tidak akan menerapkan prinsip-prinsip etika dasar (terutama utilitarisme dan deontologi) secara literer. Kita tahu, yang berlaku pada level etika terapan (termasuk etika profesi) adalah prinsip prima facie sebagaimana dimaksud W.D. Ross (1877–1971) dan prinsip-prinsip turunan lainnya yang dirumuskan kemudian, atau prinsip balancing (balancing principles sebagaimana dimaksudkan Beauchamp dan Childress dapat dibaca dalam http://www.bu.edu/wcp/Papers/Bioe/BioeToml.htm) sebagaimana dipraktikkan dalam etika kedokteran dan psikolog.
I. Etos Kerja di Jerman: Mittelstand
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, para praktisi bisnis dan ekonomi AS dan Inggris menertawai strategi ekonomi Jerman. Bagi mereka, kebijakan ekonomi perusahaan-perusahaan Jerman, yang menolak untuk melakukan investasi finansial di bursa-bursa saham untuk meraup keuntungan secara cepat, dan masih giat memproduksi berbagai bentuk barang, amatlah kuno dan konservatif. Sepuluh tahun berlalu, dan dunia dihantam krisis yang diakibatkan para pemain pasar finansial yang bertindak semaunya. Sekarang, siapa menertawakan siapa? (Campbell, 2012)
Ketika Eropa diguncang oleh krisis hutang yang mengancam sebagian negaranya, ekonomi Jerman malah mengalami surplus. Ekspor meningkat, dan angka pengangguran menyentuh titik terendah selama 20 tahun terakhir. Kita bisa mengajukan pertanyaan kecil, apa kuncinya? Apa rahasia keberhasilan ekonomi Jerman di awal abad ke 21 ini?
Rahasianya adalah Mittelstand. Secara harafiah, kata ini bisa diterjemahkan sebagai “kelas menengah”, atau bisnis kelas menengah. Namun, maknanya lebih dalam dan lebih luas daripada itu, yakni suatu etos kerja, dan suatu paham filosofis tentang bagaimana kita harus hidup. Secara sederhana, ada beberapa inti dari Mittelstand, yakni etos kerja radikal, spesialisasi, familiaritas, kejujuran, konservatisme keuangan, investasi pada manusia, dan pemerintah yang kompeten.
J. Etos Kerja dan Spesialisasi
Salah satu semboyan yang cukup dikenal di kalangan para pekerja di Jerman adalah “Work hard, play hard”, atau dalam bahasa Jerman, “wer viel arbeitet, soll auch viel feiern.” Artinya, orang yang bekerja banyak juga harus berpesta banyak. Tak ada kerja, atau sedikit bekerja, maka orang tak boleh berpesta. Inilah yang saya sebut sebagai “etos kerja radikal”.
Berbicara bersama beberapa teman disini, saya juga bisa menarik kesimpulan sementara, bahwa orang-orang Jerman sangat menekankan pentingnya pemisahan kehidupan profesional pekerjaan dan kehidupan pribadi bersama keluarga dan teman-teman. Seolah di kepala mereka, ada semacam partisi-partisi yang memisahkan bagian-bagian otaknya. Ketika di kantor atau di pabrik, mereka bekerja begitu cepat dan intens. Namun, ketika di rumah, mereka tidak mau diajak bicara tentang pekerjaan, apalagi diajak bekerja. Saya rasa, etos kerja semacam ini baik untuk produktivitas dan kesehatan mental seseorang, dan masyarakat.
Membaca statistik pabrik di daerah Bavaria, Jerman Selatan, kita akan menemukan gejala menarik, yakni spesialisasi yang begitu terasa di antara berbagai kotanya. Memang, Jerman bukanlah negara kesatuan yang sudah berdiri ratusan tahun, seperti Inggris dan Prancis misalnya. Jerman, dulunya, adalah negara yang terdiri dari berbagai kerajaan dan kota-kota kecil, yang kini menyatu menjadi satu negara. Kota-kota maupun kerajaan-kerajaan kecil itu saling berkompetisi dengan memproduksi barang-barang yang unik daerahnya masing-masing. Tradisi itu masih berlanjut sampai sekarang.
Dengan kata lain, spesialisasi produk dari setiap daerah adalah salah satu kunci keberhasilan ekonomi Jerman. Setiap kota, dan setiap daerah, berlomba memproduksi produk-produk terbaik, sesuai dengan kekhasan mereka masing-masing. Kebiasaan ini sudah mengental menjadi kultur dan tradisi, yang begitu bangga diteruskan ke generasi berikutnya. Inilah salah satu “roh” dari Mittelstand.
K. Familiaritas dan Konservatisme
Di pabrik sepatu Meindl di Kirschanschöring, Jerman Selatan, kita akan menemukan contoh bisnis Mittelstand yang menarik. Sekitar 200 orang bekerja di pabrik sepatu tersebut. Semua mengenal semua. Suasana seperti di dalam keluarga, yakni amat familiar. Namun, kekeluargaan tidak merusak produktivitas, justru sebaliknya, pabrik sepatu Meindl kini menjadi eksportir besar sepatu ke Eropa dan AS, khususnya sepatu boot. (Campbell, 2012)
Hal yang sama bisa kita temukan di pabrik mobil ternama dunia, yakni Audi. Walaupun sudah menjadi perusahaan besar, pola manajemen pabrik tersebut masih menggunakan pola Mittelstand, yakni familiaritas antar pekerja, maupun dengan pimpinan. Etos kerja radikal, spesialisasi, ditambah dengan familiaritas, akan menghasilkan sosok Audi dan ratusan pabrik Jerman lainnya yang bermutu tinggi, dan berorientasi pada pasar internasional. (Campbell, 2012)
Sejauh saya teliti, pabrik-pabrik tersebut menerapkan kebijakan yang jujur dan konservatif. Artinya, mereka tidak mau mendapatkan uang cepat, karena bermain saham, atau menipu bank, sehingga mendapatkan pinjaman besar dengan kredibilitas palsu. Dengan kata lain, terutama dari sudut pandangan perusahaan-perusahaan di AS dan Inggris, mereka adalah perusahaan-perusahaan tradisional, yakni perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan banyak orang, giat memproduksi barang bermutu tinggi untuk dijual, tanpa hutang, karena hanya membeli apa yang mereka mampu beli, tak punya masalah dengan bank, dan tidak bermain di bursa saham. Inilah salah satu ciri Mittelstand, yakni konservatisme dan kejujuran, yang terkesan kuno, tetapi berhasil.
Dr. Anton Kahtrein adalah pemilik sekaligus pemimpin Die KATHREIN-Werke KG yang menjadi produsen utama dan tertua dari Antenna dan beragam alat elektronik lainnya di dunia. Baginya, Mittelstand bukanlah semata suatu prinsip manajemen, melainkan suatu filsafat, suatu jiwa dari perusahaan-perusahaan Jerman, mulai dari yang kecil, sampai yang besar. Di dalam salah satu wawancaranya, ia menyatakan tak akan pernah melakukan investasi beresiko tinggi di bursa saham. Investasi tertinggi, baginya, haruslah dilakukan kepada para pekerja, yakni dengan meningkatkan keahlian mereka, dan memperkerjakan lebih banyak orang. (Campbell, 2012) Konservatif? Tradisional? Tapi berhasil!
L. Peran Pemerintah
Semua ini didukung oleh kompetensi Pemerintah Jerman di dalam memimpin rakyatnya. Harus diakui, pemerintah Jerman amat birokratis. Untuk membuka rekening Bank di Deutsche Bank, orang harus menunggu setidaknya 2 minggu. Orang juga harus menunggu lama dan menjalani beragam prosedur untuk meminjam uang. Semua ini dilakukan demi alasan keamanan, dan untuk melindungi orang itu sendiri, supaya tidak terlilit hutang yang tak mampu dibayarnya nanti. (Campbell, 2012)
Walaupun amat birokratis dan “semi-paranoid”, tingkat korupsi di Pemerintahan Jerman amatlah kecil, dan tidak menjadi masalah besar yang patut menjadi perdebatan publik. Di satu sisi, kita akan bilang, bahwa pola semacam ini amatlah kuno dan konservatif. Di sisi lain, kita juga bisa bilang, bahwa konservatisme Mittelstand maupun pemerintah Jerman yang terdengar kuno di mata teori-teori bisnis modern adalah “Filsafat” utama yang mendorong kinerja perusahaan-perusahaan Jerman.
Etos kerja radikal, spesialisasi kerja dan produksi, familiaritas, kejujuran, konservatisme keuangan, investasi pada manusia, dan pemerintah yang kompeten adalah roh dari Mittelstand Jerman yang membuat negara relatif kecil ini bertahan di tengah berbagai krisis finansial yang mengguncang seluruh dunia. Mayoritas orang Jerman amat bangga dengan tradisi yang terdengar kuno ini, dan tak ragu untuk mewariskannya ke generasi berikutnya. Inilah yang nilai-nilai penting yang bisa kita pelajari dari Jerman saat ini. Pertanyaan kecil kemudian, kapan giliran Indonesia menunjukkan taringnya?

Sumber : 
materi kuliah blok kbk filsafat 
ppt dosen fakultas psikologi universitas tarumanagara 
2014