1. Masyarakat Yunani dan Abad
Pertengahan
Pada masyarakat Yunani kuno, kerja
atau pekerjaan kurang mendapat perhatian. Bahkan ada kecenderungan kerja tidak
dipandang sebagai sesuatu mendasar bagi perwujudan eksistensi manusia. Kita
mengambil pandangan dua tokoh, yakni Plato dan Aristoteles sebagai landasam
untuk menyatakan penilaian itu.
Dalam karya-karyanya, Plato jarang
mengangkat topik tentang kerja atau pekerjaan sebagai bahan kajianya. Ia lebih
banyak membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan konsep-konsep seperti
konsep tentang jiwa. Menurut Plato, jiwa manusia memiliki struktur yang memuat
tiga hal yaitu rasionalitas atau pikiran, keberanian, dan keinginan atau
kebutuhan. Dari ketiga hal itu, yang menduduki posisi paling tinggi yaitu
rasionalitas atau pikiran.
Plato lebih lanjut menyatakan bahwa
kelas-kelas dalam negara juga mengikuti struktur jiwa tersebut. Ia menempatkan
tiga unsur dalam jiwa sebagai dasar dari pembagian kelas. Oleh karena itu,
Negara mempunya tiga pembagian kelas yaitu peringkat pertama terdapat para
penasihat, para pembantu atau militer pada peringkat kedua dan peringkat ketiga
ditempati oleh para penghasi yang terdiri dari para petani, pengusaha, tukang
kayu, niagawan, dan sebagainya. Para penasihat menempati urutan pertama karena
seluruh aktivitasnya bersumber pada akal budi, sedangkan para penghasil
ditempatkan pada peringkat ketiga karena sumber kegiatanya berasal dari
keinginan atau kebutuhan.
Dari klasifikasi sosial diatas maka
terlihat jelas bahwa Plato mengunggulkan orang-orang yang dalam aktivitasnya
sangat berkaitan dengan pikiran atau akal budi dan di satu sisi merendahkan
orang-orang yang dalam aktivitasnya sangat berhubungan dengan ketubuhan di lain
sisi. Dengan kata lain, aktivitas penting bagi manusia adalah berpikir.
Mengenal ide-ide adalah kegiatan yang paling mendasar dalam pandangan Plato.
Sebaliknya melakukan aktivitas yang berhubungan dengan badan kurang berharga.
Karena kerja atau pekerjaan terkait dengan kebutuhan, maka aktivitas ini tidak
memiliki arti penting. Tubuh bahkan dimata plato adalah penjara bagi jiwa
manusia, karena tubuh membuat jiwa manusia tidak bebas.
Pandangan Aristoteles tentang makna
kerja atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Plato.
Menurut Aristoteles kerja yang menggunakan atau berhubungan dengan tubuh adalah
kerja para "budak" dan Aristoteles memandang budak sebagai kelas
masyarakat yang paling rendah dalam struktur masyarakat Yunani. Orang bebas
bagi Aristoteles adalah orang yang menggunakan pikiranya untuk bertindak, bukan
orang yang mengandalkan tubuhnya.
Jadi, seluruh kegiatan yang
berhubungan dengan badan menurut Aristoteles kurang bernilai. Yang berharga
adalah aktifitas intelektif atau berpikir. Itu berarti, esensi manusia ada pada
kemampuan intelegensinya. Atas dasar ini, maka Aristoteles mendefinisikan
manusia sebagai animale rationale. Kerja badaniah merupakan
selubung bagi kegiata berpikir, karena di dalamnya akal budi ditekan. Tubuh
menghambat intelegensi.
Pandangan yang tidak terlalu berbeda
ditemukan pada masyarakat Abad Pertengahan. Bagi masyarakat zaman ini,
perhatian lebih ditekankan pada hal-hal spiritual. Maka hal yang penting dan
berguna adalah kegiatan rohani.
2.
Masyarakat Reformasi dan Industrilisasi
Perubahan cara pandang tentang makna
kerja terjadi pada masa Protestantisme dan diperteguh pada zaman
industrialisasi. Melalui Marx Weber (1897-1974) protestantisme memunculkan konsep
baru bahwa kerja dilihat sebagai sesuatu yang penting dalam dunia manusia.
Kerja adalah sarana untuk mengembangkan pribadi dan dunia serta sarana bagi
keselamatan jiwa. Calvin adalah tokoh yang pada zaman ini memandang kerja
sebagai ungkapan rasa memiliki terhadap kerajaan surga.
Industrialisasi terjadi pertama kali
di Inggris pada tahun 1750 yang bermula di Inggris. Industrialisasi merupakan
perubahan secara pesat pada bidang pertanian, pertambangan, transportasi dan
lain sebagainya. Hal ini berdampak besar dalam sistem ekonomi, politik dan
sosial budaya di dunia. Pada masa industrialisasi, kerja tidak dilihat lagi
dalam kerangka religius, melainkan dalam kerangka humanisasi. Perubahan ini
terjadi seiring dengan kesadaran manusia yang semakin besar untuk mengakui
dirinya sebagai subjek. Filsuf-filsuf yang berpandangan seperti ini antara lain
John Locke (1632-1704), Adam Smith (1723-1790), George Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1881), Karl Marx (1818-1883).
B. Pandangan
Beberapa Tokoh
1. Pandangan John Locke (1632-1704)
Dalam sejarah filsafa John Locke
digolongkan sebagai filsuf yang meletakan dasar bagaimana kerja menjadi bagian
penting dari eksistensi manusia. Ia menyatakan bahwa pekerjaan menciptakan hak,
yang disebutnya sebagai hak alamiah. Ada tiga argumen dasar Locke untuk
menempatkan kerja sebagai sesuatu yang mendasar bagi setiap manusia. Pertama,
kelekatan kerja pada tubuh manusia. John Locke menegaskan bahwa kerja melekat
pada tubuh manusia. Oleh Dengan menyatakan kerja sebagai hukum kodrat, maka
Lock ingin menyatakan bahwa setiap orang mempunyai tugas untuk menghargai
pekerjaan setiap orang.
Kedua, kerja merupakan perwujudan diri
manusia. Bagi John Locke kerja menjadi tempat pengungkapan diri. Locke juga
menegaskan bahwa melalui pekerjaan, manusia membebaskan dirinya dari
ketergantungan terhadap alam. Di dalamnya ia menyatakan diri sebagai makhluk
yang otonom. Karena alasan ini kerja berkaitan dengan harkat dan martabat
manusia.
Ketiga, kerja berkaitan dengan hidup. Bagi
John Locke hidup hanya bisa dipertahankan melalui kerja. Proses adaptasi alam
disebut kerja. Jadi bekerja bagi manusia merupakan satu-satunya jalan untuk
mempertahankan hidup.
2. Pandangan Adam Smith (1723-
1890)
Adam Smith menguniversalkan makna
kerja bagi manusia. Ia berpandangan bahwa seluruh kebudayaan merupakan hasil
dari pekerjaan manusia. Ia mengelompokkan dua jenis pekerjaan, yakni pekerjaan
yang produktif dan pekerjaan yang tidak produktif. Pekerjaan produktif ialah
pekerjaan kaum tani, buruh, sedangkan pekerjaan yang tidak produktif adalah
pekerjaan para prajurit, politisi dan ahli hokum.
Smith menunjukan tiga alasan
pentingnya pembagian kerja. Pertama, meningkatkan kerajinan
pada setiap pekerja yang pada giliranya memperbaiki kondisi hidup pekerja dan
masyarakat ke arah yang lebih baik. Smith melihat bahwa pembagian kerja
mendorong kemakmuran pribadi dan bersama karena melalui kerja peningkatan
produk dapat dicapai.
Kedua, Pembagian kerja menyebabkan
penghematan waktu. Artinya, pembagian kerja membuat seorang karyawan bekerja
secara efisien.
Ketiga, pembagian kerja mendorong
dan menimbulkan penemuan mesin-mesin baru yang mempermudah sekaligus menghemat
tenaga kerja. Smith menyatakan bahwa pembagian kerja membuat pekerja memiliki
kesempatan untuk memikirkan cara-cara baru dalam meningkatkan produktivitasnya.
3.
Pandangan George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1881)
George Wilhelm Friedrich Hegel
menempatkan pekerjaan sebagai keseluruhan konteks kegiatan manusia. Ia menilai
bahwa kerja merupakan sesuatu yang dinamis, berkembang dan menjadi sarana bagi
manusia untuk menyadari diri melalui taraf-taraf dialektis yang semakin
mendalam. Artinya, manusia menemukan diri apabila menyadari sepenuhnya apa yang
dikerjakanya.
Dengan menemukan dirinya, manusia
semakin nyata. Jadi, kerja memainkan peran utama terhadap pengungkapan
kepribadian manusia. Melalui kerja manusia merealisakian dirinya. Bagaimana
manusia merealisasikan dririnya? Hegel menguraikan keterkaitan subjek dan
objek. Dalam perjumpaan dengan objek-objek, manusia menyadari dirinya sebagai
subyek. Bentuk kesadaran ini diungkapkan oleh Hegel dalam dua hal.
Pertama, kesadaran akan keakuan manusia
secara negati. Artinya, ketika melihat objek-objek manusia menyadari dirinya
bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek. Kedua, kesadaran
bahwa tanpa objek, manusia tidak memiliki kesadaran. Itu berarti, manusia hanya
dapat sadar akan dirinya ketika berada di tengah-tengah objek. Jadi struktur
objek dan subjek merupakan struktur dasar kesadaran diri manusia. Atas dasar
itu maka dalam pemikiran Hegel pekerjaan bagi manusia merupakan sebuah proses,
tepatnya sebuah proses aktualisasi diri. Melalui pekerjaan, manusia membuktikan
dimensi-dimensinya yang mendasar sebagai makhluk rohani dan makhluk
transendental.
4. Pandangan Karl Marx (1818-1883)
Pandangan Hegel diatas memiliki arti
penting bagi Karl Marx. Mengikuti pandangan Hegel, Karl Marx juga menempatkan
pekerjaan sebagai realisasi diri melalu objektivasi. Ia mengakui bahwa
pencapaian kenyataan manusia yang sepenuhnya hanya bisa terjadi melalui
pekerjaan. Kendati dipengaruhi oleh Hegel, namun Marx mengembangkan lebih
lanjut topik tentang kerja dengan memperlihatkan secara jelas keterkaitan kerja
dengan aspek sosial dan historis yang tidak mendapat perhatian dalam pemikiran
Hegel.
Bagi Marx, selain mengungkapkan
dimensi personal, kerja juga mengungkapkan dimensi sosial. Hasil-hasil karya
manusia tidak saja dinikmatinya sendiri, melainkan juga dirasakan oleh
orang-orang lain, bahkan oleh orang-orang dari zaman yang berbeda. Dengan
demikianbagi Marx kerja menjadi penghubung manusia dengan manusia yang lain,
bahkan manusia dari satu generasi kegenerasi berikutnya.
C. Sejarah Kerja
Pengetian kerja berkembang
dalam pemikiran-pemikiran dan tujuan-tujaun tentang kerja yang pada akhirnya
memperkaya arti atau makna kerja itu sendiri. Sekitar 2600 tahun yang lalu di
Yunani, Hesiodotus menulis sebuah puisi tentang kerja yang berjudul Work and
Days. Di dalamnya ia berpendapat, bahwa kerja adalah isi utama dari kehidupan
manusia. Di sini kerja dimaknai sebagai bagian sentral di dalam kehidupan
manusia. Dengan pikiran dan tubuhnya, manusia mengorganisir pekerjaan, membuat
benda-benda yang dapat membantu pekerjaannya tersebut, dan menentukan tujuan
akhir dari kerjanya. Sejak
dulu manusia sudah memiliki pandangan, bahwa kerja adalah sesuatu yang suci.
Kerja adalah suatu bentuk panggilan dari Tuhan. Kerja adalah suatu pengabdian,
apapun bentuknya, dan semua itu layak mendapatkan penghormatan.
Di Eropa pada abad ke-14, para
rahib Benediktin bekerja di ladang dan sawah bergantian dengan mereka berdoa.
Kerja tangan dianggap sebagai sesuatu yang sama sucinya seperti orang berdoa.
Plato menegaskan ada
berbagai macam level manusia, dan setiap manusia memiliki pekerjaan yang sesuai
dengan levelnya. Pada masa perbudakan makna dan hakekat kerja mengalami
perubahan dilihat dari derajat atau strata manusia. Di satu sisi kerja
dipandang sebagai sesuatu yang rendah. Warga bangsawan tidak perlu bekerja.
Mereka mendapatkan harta dari status mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada
masa itu, manusia yang sesungguhnya tidak perlu bekerja. Ia hanya perlu
berpikir dan menulis di level teoritis. Semua pekerjaan fisik diserahkan pada
budak. Budak tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya.
Pada abad ke 17 dan 18,
refleksi filsafat tentang kerja mulai berubah arah. Salah seorang filsuf
Inggris yang bernama John Locke pernah berpendapat, bahwa pekerjaan merupakan
sumber untuk memperoleh hak miliki pribadi.
Hegel, filsuf Jerman, juga berpendapat bahwa
pekerjaan membawa manusia menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Karl Marx, murid Hegel, berpendapat bahwa pekerjaan
merupakan sarana manusia untuk menciptakan diri. Dengan bekerja orang
mendapatkan pengakuan.
D. Hakikat
kerja
a. Definisi Kerja
Jika mencermati pandangan empat
filsuf diatas, maka kita dapat mengambil kesimpulan, yakni keterkaitan kerja
dengan eksistensi manusia. Kerja menyatu dengan keberadaan manusia. Dengan
demikian, kerja adalah wadah bagi pembentukan diri manusia dalam membangun
dunianya. Melalui tiga faktor yang diperlihatkan H Arvon membantu kita untuk
menilai apakah sebuah kegiatan dapat disebut kerja atau tidak.
Ketiga faktor itu sebagai
berikut. Pertama, keterlibatan dimensi subjek secara intensif.
Yang dimaksudkan dimensi subjek adalah pikiran, kehendak dan kemauan serta
kebebasan. Artinya, sebuah pekerjaan tidak dilakukan dengan asal-asalan,
melainkan melibatkan totalitas diri subjek. Ia bekerja dengan cita, karsa dan
rasa..
Kedua, hasil yang bermanfaat. Kerja selalu
membawa hasil yang berguna. Itu berarti, kegiatan-kegiatan yang tidak
bermanfaat dan tidak membawa hasil,dengan jangka waktu panjang atau pendek,
tidak bisa disebut sebagai kerja atau pekerjaan.
Ketiga, mengeluarkan energi. Kerja itu
memerlukan tenaga. Orang selalu membutuhkan kekuatan agar bisa kerja. Karena
memerlukan tenaga, maka kerja atau pekerjaan selalu melelahkan. Berdasarkan
faktor ini aktivitas santai atau tidak mengeluarkan tenaga tidak bisa dianggap
sebagai kerja.
Dari tiga faktor diatas, dapat
mendefinisikan bahwa kerja atau pekerjaan merupakan segala kegiatan yang
direncanakan, yang melibatkan pikiran dan kemauan yang sungguh-sungguh serta
memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Didalamnya dimensi spiritual dan
material dilibatkan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
b. Kerja Manusia vs Kerja Hewan
Dari definisi di atas jelas bahwa
kerja atau pekerjaan merupakan bagian eksistensi manusia. Persoalanya apa
kekhasan kerja manusia dibandingkan dengan kerja binatang? Pertama-tama perlu
ditegaskan bahwa dalam tataran surgawi kerja manusia sama dengan kerja hewan.
Sapi yang membajak sawah dan semut yang mengumpulkan makanan juga merupakan
kerja fisik. Dalam hal ini, manusia tidak jauh berbeda dengan apa yang
dilakukan binatang. Akan tetapi dalam tataran intelektif antara kerja manusia
dengan kerja binatang sangatlah berbeda.
Pertama, jenis energi yang dikerahkan.
Hewan hanya bisa mengerahkan energi fisik. Meskipun hewan mungkin memiliki
energi psikis, boleh dikatakan tingkatanya sangat primitif. Manusia memilikinya
sebagai bagian dirinya dan karena itu ia mampu mengerahkan energi psikis dan
mampu mengarahkan energi spiritual.
Kedua, hasil kerja. Hasil kerja hewan pada
dasarnya hanya sebatas untuk keperluan self survival dan
spesiesnya berupa gerak, pemenuhan kebutuhan makan dan minum, keturunan, dan
membuat tempat berteduh. Dengan demikian, hasil kerja binatang hanya untuk
mempertahankan kebutuhan biologisnya. Akan tetapi hasil kerja manusia selalu
memenuhi kebutuhan biologisnya. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan
psikisnya dan pada tingkat lebih tinggi memenuhi kebutuhan spiritualnya juga.
Oleh karena itu manusia mengenal konsep menabung dan mengumpulkan untuk masa
depan.
Ketiga, dorongan kerja. Pada hewan
dorongan kerja bersumber dari dan berupa naluri. Dorongan ini terdapat pada
hewan secara alamiah, bagaikan software kehidupan yang
berfungsi otomatis. Naluri itu mendorong binatang untuk beraktivitas dengan
sendirinya. Tetapi manusia bekerja adalah aktivitas yang bebas karena manusia
menentukan diri di dalamnya. Ia juga memiliki pilihan-pilihan dalam menggunakan
alat-alat bekerja. Di satu pihak ia dapat memakai berbagai cara untuk tujuan
yang sama, dan di lain pihak juga ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam
kerangka salah satu kebutuhan.
Keempat, makna kerja. Manusia memberikan
makna terhadap kerja dan kinerjanya, sedangkan binatang tidak. Manusia memiliki
kualitas akal budi yang tinggi. Pemaknaan kerja dalam arti seluas-luasnya
merupakan elemen dasar bagi manusia untuk membangun etos kerja yang bermutu
tinggi dalam menekuni pekerjaannya dan ini tidak dimiliki oleh binatang.
c. Dua Elemen Kerja
Dalam definisi tentang kerja
sebelumnya, terlihat bahwa ada dua elemen penting suatu kegiatan disebutkan
sebagai kerja atau pekerjaan. Kedua elemen itu adalah elemen subjek dan elemen
objek. Elemen subjek adalah potensi atau kekuatan yang melekat di dalam diri
manusia. Elemen ini meliputi pikiran, keinginan, hati, kebebasan, kehendak dan
kemampuan.
Elemen objektif merupakan sarana
pendukung untuk merealisasikan pikiran, rencana, serta kehendaknya. Artinya,
selain elemen subjek manusia membutuhkan sarana pendukung untuk merealisasikan
pikiran, kemauan dan rencananya. Dua elemen tersebut sangat penting dalam
kerja. Kerja merupakan kombinasi antara elemen subjek dan elemen objek.
d. Peran Istimewa Tangan
Salah satu instrumen yang penting
dalam diri manusia adalah tangan. Ada beberapa argumen untuk menyatakan
keistimewaan tangan tersebut. Pertama, posisi vertikal tubuh
manusia. Jika dibandingkan dengan binatang pada umumnya, tubuh manusia bersifat
vertikal, sedangkan tubuh binatang cenderung bersifat horizontal. Vertikalitas
ini membuat gerakan tangan lebih bebas dan dinamis.
Kedua, kekayaan fungsi tangan. Fungsi
tangan sangat luas dibandingkan dengan organ tubuh yang lain. Hal ini
disebabkan oleh vertikalitas tubuh manusia. Dengan tangan membagi, memegang
dengan kuat, mendorong dan menarik. Tidak hanya itu, tangan juga berfungsi
simbolik karena menghadirkan apa yang ada di dalam pikiran seseorang. Ketika
terjadi sesuatu dalam tubuh, tangan melakukan tindakan cepat atas perintah akal
budi. Tangan juga berhubungan dengan intelegensi.
Ketiga, tangan bersifat personal dan
sosial. Tangan merupakan instrumen yang bersifat pribadi karena melalui tangan,
seseorang bisa menyampaikan pikiran, dan keinginanya kepada orang lain. Tangan
pula dapat menjadi instrumen merealisasikan kebebasan bagi seorang individu.
Selain bersifat personal, tangan juga bersifat sosial.
Tangan disebut sosial karena menghubungkan
manusia dengan manusia yang lain secara bebas. Tangan juga tidak hanya
menghubungkan pribadi dengan pribadi tetapi manusia dengan dunia.
Melihat peran tangan yang begitu
besar itu keistimewaan manusia atas binatang dalam bidang kerja, sebagaimana
ditegaskan oleh Max Scheler tidak terletak pada banyaknya fakta bahwa manusia
dapat menghasilkan alat-alat, melainkan pada kemampuanya untuk membentuk konsep
tentang sebuah alat.
E. Tiga Dimensi Kerja
a. Dimensi Personal
Melalui kerja manusia menunjukan
nilai kemanusiaanya. Inilah yang dimaksudkan bahwa kerja sebagai ungkapan
pribadi. Dapat pula dikatakan dengan bekerja manusia membuktikan diri sebagai
manusia. Ia tidak ditaklukan oleh kekuatan alam atau materi, tetapi
menaklukanya sesuai dengan kemauanya. Jadi, kerja adalah proses subjektivikasi
setiap individu. Karena itu kerja tidak tergantikan oleh siapapun. Kerja adalah
ungkapan dari keunikan serta totalitas diri setiap pribadi.
Hegel dan Karl Marx sepakat untuk
menyatakan bahwa kerja atau pekerjaan merupakan realisasi diri manusia. Ia
sekaligus mentransformasikan diri dalam karya yang dihasilkanya, dan mengambil
kemanusiaan untuk pemenuhan dirinya. Dengan demikian, kerja tidak hanya
memperlihatkan aspek fisik saja, tetapi juga melibatkan aspek psikis. Bahkan
Alport (1880-1995) dan Abraham Maslow (1909-1970) sebagaimana dikutip oleh
Frank G Goble (1847-1901) menyatakan kepuasan dimensi psikis ini merupakan
nilai tertinggi dari aktualisasi diri manusia. Melihat dimensi personal inilah,
kerja merupakan sebuah hak asasi manusia, karena melekat dalam tubuh manusia.
Kerja adalah milik diri setiap pribadi
b. Dimensi Sosial
Selain mengungkapkan diri, kerja
juga memiliki makna sosial. Hal ini seiring dengan hakikat manusia sebagai
makhluk sosial. Martin Heidegger yang pendapatnya berkali-kali dikutip dalam
bab sebelumnya menyatakan bahwa manusia adalah "hidup bersama dengan orang
lain". Ada manusia adalah ada bersama dengan orang lain. Gagasan Hedegger
ini mengandung makna bahwa apapun yang dilakukan manusia selalu melibatkan
orang lain. Keterlemparan justru membuat manusia harus melakukan sesuatu
sebagai tanda tanggungjawabnya terhadap orang lain
Karena itu, kerja tidak bisa
terlepas dari bingkai sosialitas. Itu berarti kerja tidak saja merupakan wadah
pernyataan diri, melainkan juga sarana perwujudan kepedulian setiap pribadi
kepada orang lain. Kepuasan kerja tidak hanya bisa dinikmati oleh pekerja
sendiri, tetapi juga dapat dirasakan oleh orang lain, bahkan oleh mereka yang
hidup pada zaman yang berbeda. Pekerjaan menjadi ikatan anatara manusia dari
satu generasi ke generasi yang berikutnya.
Jadi, pekerjaan merupakan jembatan
antara umat manusia dari satu zaman ke zaman berikutnya. Inilah yang membuat
manusia dapat mengenal sejarah masa lalunya. Karena aspek historis ini,
pekerjaan justru menyatukan semua umat manusia dari waktu ke waktu, dari zaman
ke zaman sebagaimana diakatakan oleh Paus Pius IX (1792-1878). Umat manusia
disatukan sebagai satu komunitas umat manusia melalui kerja.
c. Dimensi Etis
Selain dimensi personal dan dimensi
sosial, kerja juga memiliki aspek etis. Nilai ini justru menjadi landasan vital
untuk mewujudkan dimensi personal dan dimensi sosial kerja. Di era modern ini
nilai etis bahkan mendapat perhatian serius dalam pekerjaan.
Nilai-nilai etis yang dikandung atau
dituntut dalam kerja yaitu Pertama, keadilan. Dalam berkerja
setiap pribadi memiliki kewajiban untuk menghargai hak-hak dari orang lain.
Plato menunjukkan bahwa dalam negara ada tiga kelas, yakni penasihat atau
pembimbing, para pembantu atau militer dan penghasil. Setiap kelas justru
bertugas untuk menjaga keselarasan setiap bagian. Inilah yang disebut oleh
Plato bertindak adil. Jadi, keadilan merupakan moralitas jiwa yang mampu
menjaga keseimbangan.
Kedua, tanggung jawab. Dalam hal ini
kepedulian terhadap hidup orang menjadi tuntutan moral yang mendasar dalam
pekerjaan. Menurut Adam Smith menyatakan bahwa setiap tindakan pribadi,
termasuk tindakan pelaku ekonomi, harus dilihat sebagai ungkapan sikap simpati kepada
orang lain. Karena itu, bagi Adam Smith kegitan ekonomi tidak saja bertujuan
mencari keuntungan sebesar-besarnya, melainkan juga mewujudkan kepedulian
setiap pribadi pada orang lain.
Ketiga, kejujuran. Kejujuran
merupakan nilai moral lain yang dituntut dalam pekerjaan. Prinsip ini merupakan
keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki oleh seorang pekerja.
Orang yang memiliki kejujuran tidak akan menipu orang lain.
F. Etos Kerja
Menurut Usman Pelly (1992:12), etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran
sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budayaterhadap kerja.
Dapat dilihat dari pernyataan di muka bahwa etos kerja mempunyai dasar
dari nilai
budaya, yang mana dari nilai budaya itulah yang membentuk etos
kerja masing-masing pribadi.
Etos kerja dapat diartikan sebagai konsep tentang kerja atau paradigma kerja yang
diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang
diwujudnyatakan melalui perilaku kerja mereka secara khas (Sinamo, 2003,2).
Menurut
Toto Tasmara, (2002)
Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan,
memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya
untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara
manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin
dengan baik. Etos kerja berhubungan dengan beberapa hal penting seperti:
a.
Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik, baik
waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin.
b.
Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang sangat penting
guna efesien dan efektivitas bekerja.
c.
Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan kesungguhan.
d.
Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros, sehingga
bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.
e.
Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang dilakukan tidak
mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri.
Secara
umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan
individu sebagai seorang pengusaha atau manajer. Menurut A. Tabrani Rusyan,
(1989) fungsi etos kerja adalah:
(a) pendorang timbulnya
perbuatan.
(b) Penggairah dalam aktivitas.
(c) Penggerak, seperti mesin bagi mobil.
G. Cara Menumbuhkan Etos Kerja :
1. Menumbuhkan sikap
optimis :
- Mengembangkan
semangat dalam diri.
- Peliharalah sikap
optimis yang telah dipunyai
- Motivasi diri
untuk bekerja lebih maju.
2. Jadilah diri anda
sendiri :
- Lepaskan impian
- Raihlah cita-cita
yang anda harapkan
3. Keberanian untuk memulai :
- Jangan buang
waktu dengan bermimpi
- Jangan takut
untuk gagal
- Merubah kegagalan
menjadi sukses
4. Kerja dan waktu :
- Menghargai waktu
(tidak akan pernah ada ulangan waktu)
- Jangan cepat
merasa puas.
5. Konsentrasi dan focus pada pekerjaan.
H.
Kerja Bermartabat
Temuan
Kevin Roose dan catatan Prof. Alexander Michel mendorong kita untuk bertanya,
“Apakah manusia harus bekerja tanpa mengenal batas kemampuannya?” “Apakah
alasan manusia bekerja?” “Apakah dapat dibenarkan secara etis jika manusia
mereduksikan pekerjaan kepada semata-mata sarana untuk merealisasikan
kepentingan ekonomi? Kasdin Sihotang, pengajar Etika Bisnis di Fakultas
Ekonomi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya menerbitkan sebuah buku
berjudul Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses (2014). Apa yang dimaksud
dengan kerja bermartabat? Umumnya perusahaan-perusahaan memahami kerja
bermartabat sebagai “komitmen setiap organisasi untuk membangun lingkungan
kerja yang kondusif dan positif sedemikian rupa sehingga terbangun hubungan
kerja yang manusiawi.” Untuk merealisasikan hal ini, umumnya
perusahaan-perusahaan menginisiasi terbentukna prosedur, kebijakan, dan standar
perilaku tertentu yang mengikat setiap karyawan. Beberapa prinsip yang biasanya
diacu sebagai pendefinisi kerja bermartabat meliputi hak seorang pekerja untuk
(1) diperlakukan secara bermartabat; (2) bekerja dalam lingkungan atau suasana
kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan; (3) bebas dari ketakutan dan
diskriminasi; (4) menerima penghargaan atas keterampilan dan kemampuan
profesionalnya; (5) menerima penghasilan yang layak.
Merujuk
ke distingsi Hannah Arendt mengenai labour, work dan activity, Kasdin Sihotang
berpendapat bahwa manusia tidak sekadar bekerja (labour), tetapi juga berkarya
dan mewujudkan dirinya secara utuh. Bekerja pada level paling dasar dilakukan
manusia karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (labour), dan ini
menempatkan manusia pada level biologis, sama seperti yang dilakukan binatang.
Padahal,
manusia bukan sekadar pekerja (homo laborans), tetapi juga subjek atas
pekerjaan (homo faber). Dengan menjalankan pekerjaan, manusia merealisasikan
seluruh kemampuan dirinya. Manusia adalah tujuan pada dirinya. Dengan bekerja,
manusia merealisasikan tujuannya, nilai-nilai yang dihayatinya, serta imbalan
yang pantas dengan profesinya. Bekerja memiliki orientasi individual, tetapi
juga sosial. Pekerjaan memiliki nilai-nilai tanggung jawab, keadilan,
kejujuran, dan kepercayaan. Kerja bahkan merealisasikan spiritualitas tertentu,
bahwa Tuhan memanggil setiap orang untuk membangun dunia menjadi lebih baik.
Dalam
arti itu, dapat disimpulkan bahwa etos kerja yang dibangun perusahaan jasa
keuangan sebagaimana dideskripsikan di atas telah melupakan dimensi kerja
bermartabat. Tampak jelas bahwa pekerjaan telah direduksikan hanya sebagai
sarana pemenuhan kebutuhan, dan itu artinya menyamakan pekerjaan (profesi)
dengan kerja tangan dalam arti labour menurut Arendt. Padahal, menurut alur
pemikiran yang dibangun Kasdin Sihotang, kerja tidak hanya bernilai personal,
tetapi juga sosial, etis dan spiritual. Bahkan pada level sangat personal pun
kerja tidak bisa direduksikan sebagai kerja tangan dalam arti peyoratif (tanpa
kebebasan), karena secara filosofis, tangan dan keterampilannya justru
mencerminkan kebebasan manusia. “Bagaimana mewujudkan kerja bermartabat?” Bagi
Kasdin, kode etik profesi dapat diandalkan sebagai semacam sarana untuk
mewujudkan kerja bermartabat. Kasdin Sihotang membayangkan bahwa kode etik
profesi yang adalah prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar suatu pekerjaan
(prinsip kejujuran, tidak berperilaku buruk, tidak melanggar hukum, berperilaku
adil dan proporsional, dan semacamnya), jika dilaksanakan secara konsekuen,
dapat mewujudkan kerja bermartabat.
Dari
simpul inilah Kasdin Sihotang kemudian menarasikan, ketika dia terutama
mengeksplorasi apa itu profesi dan ciri-ciri profesi sebelum kemudian
menegaskan prinsip-prinsip etika profesi. Pertanyaannya, mengapa kemudian buku
ini harus mendeskripsikan secara panjang lebar teori-teori etika dasar.
Tampaknya Kasdin Sihotang terjebak dalam pemikiran bahwa etika profesi
mengandung prinsip-prinsip moral yang perwujudannya menjadi semacam jaminan
bagi terciptanya sebuah kerja yang bermartabat. Pendekatan semacam ini tidak
sepenuhnya salah jika kita memahami bahwa buku ini dibaca dan digunakan oleh
mahasiswa yang belum pernah mempelajari etika dasar sebelumnya. Kelemahannya,
kajiannya menjadi terlalu panjang dan melelahkan. Menurut saya, seseorang dapat
memahami etika profesi tanpa memahami secara mendalam etika dasar.
Prinsip-prinsip etika dasar seperti deontologi dan utilitarisme sebetulnya dapat
dijelaskan ketika membicarakan prinsip etika profesi tertentu. Toh
prinsip-prinsip etika profesi, sejauh itu ada pada level etika terapan, tidak
akan menerapkan prinsip-prinsip etika dasar (terutama utilitarisme dan
deontologi) secara literer. Kita tahu, yang berlaku pada level etika terapan
(termasuk etika profesi) adalah prinsip prima
facie sebagaimana dimaksud W.D. Ross (1877–1971) dan prinsip-prinsip
turunan lainnya yang dirumuskan kemudian, atau prinsip balancing (balancing
principles sebagaimana dimaksudkan Beauchamp dan Childress dapat dibaca dalam http://www.bu.edu/wcp/Papers/Bioe/BioeToml.htm) sebagaimana dipraktikkan dalam
etika kedokteran dan psikolog.
I. Etos Kerja di Jerman: Mittelstand
Sekitar
sepuluh tahun yang lalu, para praktisi bisnis dan ekonomi AS dan Inggris
menertawai strategi ekonomi Jerman. Bagi mereka, kebijakan ekonomi
perusahaan-perusahaan Jerman, yang menolak untuk melakukan investasi finansial
di bursa-bursa saham untuk meraup keuntungan secara cepat, dan masih giat
memproduksi berbagai bentuk barang, amatlah kuno dan konservatif. Sepuluh tahun
berlalu, dan dunia dihantam krisis yang diakibatkan para pemain pasar finansial
yang bertindak semaunya. Sekarang, siapa menertawakan siapa? (Campbell, 2012)
Ketika
Eropa diguncang oleh krisis hutang yang mengancam sebagian negaranya, ekonomi
Jerman malah mengalami surplus. Ekspor meningkat, dan angka pengangguran
menyentuh titik terendah selama 20 tahun terakhir. Kita bisa mengajukan
pertanyaan kecil, apa kuncinya? Apa rahasia keberhasilan ekonomi Jerman di awal
abad ke 21 ini?
Rahasianya
adalah Mittelstand. Secara harafiah, kata ini bisa diterjemahkan sebagai
“kelas menengah”, atau bisnis kelas menengah. Namun, maknanya lebih dalam dan
lebih luas daripada itu, yakni suatu etos kerja, dan suatu paham filosofis
tentang bagaimana kita harus hidup. Secara sederhana, ada beberapa inti dari Mittelstand,
yakni etos kerja radikal, spesialisasi, familiaritas, kejujuran, konservatisme
keuangan, investasi pada manusia, dan pemerintah yang kompeten.
J.
Etos Kerja dan Spesialisasi
Salah
satu semboyan yang cukup dikenal di kalangan para pekerja di Jerman adalah “Work
hard, play hard”, atau dalam bahasa Jerman, “wer viel arbeitet, soll
auch viel feiern.” Artinya, orang yang bekerja banyak juga harus berpesta
banyak. Tak ada kerja, atau sedikit bekerja, maka orang tak boleh berpesta.
Inilah yang saya sebut sebagai “etos kerja radikal”.
Berbicara
bersama beberapa teman disini, saya juga bisa menarik kesimpulan sementara,
bahwa orang-orang Jerman sangat menekankan pentingnya pemisahan kehidupan
profesional pekerjaan dan kehidupan pribadi bersama keluarga dan teman-teman.
Seolah di kepala mereka, ada semacam partisi-partisi yang memisahkan bagian-bagian
otaknya. Ketika di kantor atau di pabrik, mereka bekerja begitu cepat dan
intens. Namun, ketika di rumah, mereka tidak mau diajak bicara tentang
pekerjaan, apalagi diajak bekerja. Saya rasa, etos kerja semacam ini baik untuk
produktivitas dan kesehatan mental seseorang, dan masyarakat.
Membaca
statistik pabrik di daerah Bavaria, Jerman Selatan, kita akan menemukan gejala
menarik, yakni spesialisasi yang begitu terasa di antara berbagai kotanya.
Memang, Jerman bukanlah negara kesatuan yang sudah berdiri ratusan tahun,
seperti Inggris dan Prancis misalnya. Jerman, dulunya, adalah negara yang
terdiri dari berbagai kerajaan dan kota-kota kecil, yang kini menyatu menjadi
satu negara. Kota-kota maupun kerajaan-kerajaan kecil itu saling berkompetisi
dengan memproduksi barang-barang yang unik daerahnya masing-masing. Tradisi itu
masih berlanjut sampai sekarang.
Dengan
kata lain, spesialisasi produk dari setiap daerah adalah salah satu kunci
keberhasilan ekonomi Jerman. Setiap kota, dan setiap daerah, berlomba
memproduksi produk-produk terbaik, sesuai dengan kekhasan mereka masing-masing.
Kebiasaan ini sudah mengental menjadi kultur dan tradisi, yang begitu bangga
diteruskan ke generasi berikutnya. Inilah salah satu “roh” dari Mittelstand.
K.
Familiaritas dan Konservatisme
Di
pabrik sepatu Meindl di Kirschanschöring, Jerman Selatan, kita akan
menemukan contoh bisnis Mittelstand yang menarik. Sekitar 200 orang
bekerja di pabrik sepatu tersebut. Semua mengenal semua. Suasana seperti di
dalam keluarga, yakni amat familiar. Namun, kekeluargaan tidak merusak
produktivitas, justru sebaliknya, pabrik sepatu Meindl kini menjadi
eksportir besar sepatu ke Eropa dan AS, khususnya sepatu boot. (Campbell, 2012)
Hal
yang sama bisa kita temukan di pabrik mobil ternama dunia, yakni Audi.
Walaupun sudah menjadi perusahaan besar, pola manajemen pabrik tersebut masih
menggunakan pola Mittelstand, yakni familiaritas antar pekerja, maupun
dengan pimpinan. Etos kerja radikal, spesialisasi, ditambah dengan
familiaritas, akan menghasilkan sosok Audi dan ratusan pabrik Jerman
lainnya yang bermutu tinggi, dan berorientasi pada pasar internasional.
(Campbell, 2012)
Sejauh
saya teliti, pabrik-pabrik tersebut menerapkan kebijakan yang jujur dan
konservatif. Artinya, mereka tidak mau mendapatkan uang cepat, karena bermain
saham, atau menipu bank, sehingga mendapatkan pinjaman besar dengan
kredibilitas palsu. Dengan kata lain, terutama dari sudut pandangan
perusahaan-perusahaan di AS dan Inggris, mereka adalah perusahaan-perusahaan
tradisional, yakni perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan banyak orang, giat
memproduksi barang bermutu tinggi untuk dijual, tanpa hutang, karena hanya
membeli apa yang mereka mampu beli, tak punya masalah dengan bank, dan tidak
bermain di bursa saham. Inilah salah satu ciri Mittelstand, yakni
konservatisme dan kejujuran, yang terkesan kuno, tetapi berhasil.
Dr.
Anton Kahtrein adalah pemilik sekaligus pemimpin Die KATHREIN-Werke KG
yang menjadi produsen utama dan tertua dari Antenna dan beragam alat elektronik
lainnya di dunia. Baginya, Mittelstand bukanlah semata suatu prinsip
manajemen, melainkan suatu filsafat, suatu jiwa dari perusahaan-perusahaan
Jerman, mulai dari yang kecil, sampai yang besar. Di dalam salah satu
wawancaranya, ia menyatakan tak akan pernah melakukan investasi beresiko tinggi
di bursa saham. Investasi tertinggi, baginya, haruslah dilakukan kepada para
pekerja, yakni dengan meningkatkan keahlian mereka, dan memperkerjakan lebih
banyak orang. (Campbell, 2012) Konservatif? Tradisional? Tapi berhasil!
L.
Peran Pemerintah
Semua
ini didukung oleh kompetensi Pemerintah Jerman di dalam memimpin rakyatnya.
Harus diakui, pemerintah Jerman amat birokratis. Untuk membuka rekening Bank di
Deutsche Bank, orang harus menunggu setidaknya 2 minggu. Orang juga
harus menunggu lama dan menjalani beragam prosedur untuk meminjam uang. Semua
ini dilakukan demi alasan keamanan, dan untuk melindungi orang itu sendiri,
supaya tidak terlilit hutang yang tak mampu dibayarnya nanti. (Campbell, 2012)
Walaupun
amat birokratis dan “semi-paranoid”, tingkat korupsi di Pemerintahan
Jerman amatlah kecil, dan tidak menjadi masalah besar yang patut menjadi
perdebatan publik. Di satu sisi, kita akan bilang, bahwa pola semacam ini
amatlah kuno dan konservatif. Di sisi lain, kita juga bisa bilang, bahwa
konservatisme Mittelstand maupun pemerintah Jerman yang terdengar kuno
di mata teori-teori bisnis modern adalah “Filsafat” utama yang mendorong
kinerja perusahaan-perusahaan Jerman.
Etos
kerja radikal, spesialisasi kerja dan produksi, familiaritas, kejujuran,
konservatisme keuangan, investasi pada manusia, dan pemerintah yang kompeten
adalah roh dari Mittelstand Jerman yang membuat negara relatif kecil ini
bertahan di tengah berbagai krisis finansial yang mengguncang seluruh dunia.
Mayoritas orang Jerman amat bangga dengan tradisi yang terdengar kuno ini, dan
tak ragu untuk mewariskannya ke generasi berikutnya. Inilah yang nilai-nilai
penting yang bisa kita pelajari dari Jerman saat ini. Pertanyaan kecil
kemudian, kapan giliran Indonesia menunjukkan taringnya?
Sumber :
materi kuliah blok kbk filsafat
ppt dosen fakultas psikologi universitas tarumanagara
2014