Senin, 29 September 2014

manusia : afektivitas dan kebebasan



 Manusia : Afektivitas dan kebebasan

Kekayaan dan Kompleksitas Afektivitas Manusia
                Manusia mempunyai kemampuan mengenal dan afektivitas. Kita dianugrahi afektivitas, maka kita tidak merasa puas dengan memandang alam semesta saja, hal-hal  menarik perhatian kita, menggerakkan hati kita. Afektivitaslah yang menjadi pangkal kita bicara, tanda-tanda yang saling kita berikan atau  ekspresi muda dan dialog. Oleh karena itu sering bericara dengan orang-orang tentang hal yang menarik perhatian kita. Afektivitaslah yang  memperlihatkan diri dalam berbagai kelakuan kita termasuk kelakuan seksual. Melalui afektivitas kita didorong untuk mengikatkan diri pada sesuatu atau seseorang, mengabdi untuk menjadi kreatif, membela diri, menyerang, dan bertempur.
                Afektivitas manusia menyangkut kegiatan kompleks, sebelum kita sampai menyatakan secara tepatapa afektivitas itu, kita memperhatikan kekayaan dan menjelaskan yang paling penting dari afektivitas. Seluruh kegiatan afektivitas bersandar pada dua hal, yaitu mencintai dan mencintai Cinta sebagai akibat afektivitas yang baik disebut afektivitas positif, sedang benci sebagai akibat dari sesuatu yang jelek yang disebut afektifitas negatif. Jadi, pada  hakikatnya cintalah yang berada pada asal mula dari seluruh hidup afektif, sekurang-kurangnya rasa cinta pada diri sendiri.
                Suasan hati dasariah, entah normal atau patologis, itulah yang menentukan bagaimana setiap orang berbeda dalam dunia, yang memberikan kepadanya gaya kelakukan yang mewarnai seluruh kehidupan afektifnya. Suasana hati dasariah  setiap orang, ”lengkung intensionalnya” adalah yang merupakan akar kehidupan afektifnya, dimana perpaduan antara tubuh dan rohnya, antara yang organis dan yang psikolog.

Apa yang bukan perbuatan afektif
                Sejauh kita mengenal seseorang kita dapat mencintainya, dan hanya dengan mencintainya sungguh-sungguh kita dapat mengertinya. Namun, mencintai bukanlah mengerti dan mengerti bukanlah mencintai. Buktinya, seseorang yang mempertimbangkan atau cara tentang kebenaran, keadilan, cinta dan kesetiaan tidak selalu cenderung, secara afektif, bersikap baik terhadap nilai-nilai itu, meskipun pengetahuan atau kefasihannya memberi kesan demikian. Sering juga sesorang yang dengan berapi-api dan mengabdikan diri  sekuat tenaga tidak selalu berbuat secara inteligen.
                Cinta pada umumnya cenderung kesatuan afektif, yang terdiri dari kecenderungan, gerakan hati, proporsi, persesuain, kecocokan dan kerelaan. Kehidupan afektif disebut ”affectueux” artinya lembuh dan ramah. Afektivitas dan kehidupan afektif, harus meliputi semua sikap jiwa dari mana subjek didorong yang mendekatan dari mana baginya merupakan sesuatu yang baik, atau dengan melarikan diri dari atau melawan apa yang baginya adalah sesuatu yang buruk.
                Istilah ”Affect” juga mengandung arti, semua keadaan afektif, menyusahkan atau menyenangkan. Afektif disamakan denga kesanggupan merasa, yaitu keseluruhan kecenderungan yang berbeda dari aspirasi-aspirasi yang betul-betul rohaniah dan malah mereka atau kesanggupan merasa. Demikian pula kehidupan afektif kita bersifat jasmaniah dan dapat di rasa saja, tetapi kearah inteligebel dan spiritual. Afektivitas manusia tidak terbatas pada gerakan-gerakan naluriah, tetapi juga pengaruh kebebasan. Oleh sebab itu, afektivitas termasuk dalam unsur-unsur pokok dasariah kita berada di dunia dan dimensi-dimensi esensial roh kita.

Apa yang merupakan perbuatan afektif
                Hidup afektif atau afektivitas adalah keseluruhan dari perbuatan afektif yang dialami oleh subjek dan juga dinamisme-dinamisme perbuatan-perbuatannya. Perbuatan harus dimengerti sebagai segala pergerakan batin yang akrena subjek ditarik oleh objek atau sebaliknya. Akan tetapi perbuatan afektif sungguh berbeda dari perbuatan mengenal. Penyebabnya adalah:
1)     perbuatan afektif itu lebih pasif dari perbuatan mengenal. Perbuatan afektif subjek lebih dipengaruhi/dikuasai oleh objek. Akibatnya dalam perbuatan subjek lebih dikenal oleh pihak objek,
2)     sejauh si subjek dikenal secara lebih intensif oleh objek, maka perbuatan afektif bisa disebut lebih ekstatis daripada perbuatan mengenal. Karena lebih dinamis dan lebih afektif daripada perbuatan mengenal, maka perbuatan afektif juga lebih bersifat realistis, karena subjek lebih dihunungkan dengan apa yang khusus dan nyata dalam objek itu, berkat perbuatan itu, subjek cenderung mendekati atau menghindari objek justru sebagaimana adanya, apakah menggunakan atau mengabdi kepadanya atau juga menolongnya untuk maju atau sebaliknya menghancurkannya.
3)     Perbuatan afektif lebih bersikap partisipasi dan kesatuan daripada perbuatan mengenal. Ini menjadi nyata dalam cinta, cinta kesarakahan atau cinta keuntungan pertama-tama cenderung memakai objeknya, cari untung itu atau nikmat, tetapi cita kerelaan lain, itu adalah persesuaian si subjek dengan objek.
Jadi, Perbuatan afektif berbeda dengan perbuatan mengenal sejauh yang pertama mengarahkan kita lebih kepada dunia dan membuat kita berada secara lebih langsung dan lebih intensif bersama dengan hal-hal, jadi bersifat lebih eksistensial.
 
Kondisi-kondisi afektifitas manusia
                Supaya ada afektifitas harus ada suatu daya tarik-menarik atau suatu ikatan kesamaan atau gabungan tertentu antara si subjek dan objek perbuatan afektifnya. Akan menjadi nyata bila dibicarakan itu cinta dan perasaan-perasaan yang berhubungan dengan cita karena jelaslah cita secara intisariah adalah persesuaian dan penelanan (sintonisasi), kesatuan dan dua pihak yang ada persamaannya dan saling melengkapapi. Secara Psikologi juga menyangsikan bahwa permusuhan dari seseorang menjadi makin sukar bagi kita, bila yang bermusuhan itu makin berikatan dengan kita.
                Plato dan Aristoteles mendefinisikan kebaikan atau yang baik itu sebagai apa-apa yang dapat dijadikan objek dari keinginan atau dari kecenderungan, sebagai apa-apa yang dapat cocok, karena alasan ini atau itu, dengan sesuatu atau dengan seseorang. Mereka membedakan antara sesuatu yang baik karena berguna (bonum utile), sesuatu baik karena enak atau menyenangkan (bonum delectabile) dan sesuatu baik karena pantas (bonum honestum).
                Pengertian nilai, apa yang pantas diinginkan dan dikehendaki oleh manusia, seperti hidup, cinta, kebenaran, keindahan, keadilan, kebebasan, kreativitas dan lain-lain. Di tinjau dari sudut subjek, maka nilai itu membangkitkan dalam dirinya rasa hormat dan kekaguman, menimbulkan persetujuan dan keterlibatannya dan sebagai gantinnya menjanjikan kepadanya penyempurnaan bagi dirinya sendiri. Dipandang dari dalam diri sendiri nilai itu adalah sesuatu yang betul-betul berharga, yang pantas diperoleh dengan perjuangan keras dan makin orang dengan sepenuh hati memperjuangkan itu makin  itu atau menyamakan diri sebagai lebih kaya, nilai bersandar pada Yang Mutlak atau menyamakan diri dengan-Nya yang melebihi semua objek dimana nilai direalisir untuk sebagi saja.   Akan tetapi yang baik dan bernilai berhubungan dengan subjek.
Cinta akan diri sendirilah yang selalu ditemukan pada pangkal segala afektivitas sesuatu makhluk.  Untuk terjadinya perbuatan afektif tidak cukup bahwa subjek itu mengenal apa yang menarik baginya atau menyenangkan, tetapi ia juga secara fundamental dan langsung siap sedia untuk mengalaminya sebagai suatu yang diinginkan atau ditolak. Ia secara fundamental disiap-siagakan oleh keadaannya sendiri yaitu karena hidup atau karena manusiawi, oleh karena alam yang telah melengkapinya dengan dinamisme-dinamisme afektif yang ini atau itu.
Ia disiap-siagakan  secara langsung dengan kurang lebih baik menurut perkembangan yang telah dialaminya atau pendidikan yang telah diterimanya. Orang-orang memutuskan pekerjaannya, kita tahu sekarang bahwa pengalaman-pengalaman afektif pertama pada masa kanak-kanak sangat menentukan untuk keseimbangan kepribadian dewasa.

Kesenangan harus dicurigai?
                Dari semua afektif, mungkin kesenanganlah yang merupakan cara yang paling sesuai dengan kodrat kita. Sekurang-kurangnya, kesenanganlah yang kita cari secara paling spontan. Pentinglah ditinjau peranannya dalam kehidupan afektif dan diakui betapa kesenangan itu perlu dalam kehidupan kita, tetapi juta kita harus memberi perhatian kepada apa yang ambigu di dalamnya.
                Kesenangan (plaisir, pleasure) adalah perasaan yangdialami oleh suatu subjek kalau ia didalangi atau dihinggapi oleh suatu ”berada lebih intensif” atau ”berada lebih baik”, sebagai hasil dari ”bertindak dengan baik” atau ”mengalami dengan baik”.
                Lawan dari kesenangan, penderitaan (douleur, sorrow) adalah cara afektif yang timbul dalam diri kita oleh karena salah satu kecenderungan-kecenderungan kita dilawan, dirintangi, digagalkan, entah karena objek kecenderungan itu luput atau ditarik kembali dari kita, entah kita tidak sampai mencapainya, mempergunakannya, atau berkomunikasi dengannya. Untuk lebih tepat kita dapat memberdakan penderitaan (duleur, sorrow) dan sengsara (souffrance, pain). Penderitaan mengandung arti penolakan atau protes si subjek terhadap suatu pengecilan dari keperibadiannya, sedangkan sengsara lebih baik dikatakan menunjukkan  pengecilan itu sendiri.
                Istilah-istilah kesenangan dan penderitaan dikatakan bukan hanya tentang terpenuhi atau tidaknya suatu kebutuhan jenis biologis, tetapi juga tentang terkabul atau tidanya suatu kecenderungan jenis rohaniah. Kesenangan dan penderitaan yangdapat dialami setiap orang ditentukan sifatnya dan diukur oleh sifat jiwanya yang dasariah. Akan tetapi, jelas juga bahwa kesenangan dan penderitaan yang dialami setiap insan juga mempengaruhi sifat jiwanya dan sampai batas tertentu mengubahnya.
                Kecurigaandari para moralis terhadap kesenangan atau sekurang-kurangnya kekerasan mereka terhadap orang-orang yang dalam segala hal mencoba melulu mencari kesenangan mereka, tidak tanpa dasar. Sebab manusia dari satu pihak berusaha mencari ”yang mutlak” dan kerinduan akan yang tak terbatas dan sebab dari lain pihak ia adalah jasmani dan terbatas, maka secara spontan ia dapat cenderung untuk memenuhi kebuhtuhannya akan yang mutlak dengan memakai hal-hal yang nisbi dan untuk memproyeksikan keinginannya akan yang tak terbatas di dalam realitas terbatas ditemukan dan dilaksanakannya. Keberatan pokok terhadap perbuatan itu adalah mempersempit cakrawala dari subjek dan mengurangi jangkauan afektivitasnya.
                Dapat dimengerti relavansi seruan-seruan untuk hidup sederhana dan menguasai diri. Ajakan itu masih bergema dalam anjuran-anjuran rohaniawan dari semua agama yang besar. Sesungguhnya sengsara itu mencegah kita menghendaki yang kurang dan membawa kita sampai menghendaki yang lebih. Orang tidak memperoleh yang tak terbatas seperti memperoleh suatu barang, orang hanya dapat memperolehnya dengan membuka diri kepada yang abadi, mengosongkan diri dan mati raga.
                Bersedia menjawab dengan seluruh kepribadian panggilan dan Sang Nilai, itulah sifat khas bagi hati besar. Itulah  puncak dari kehidupan efektif. Itulah yang memperbolehkn manusia untuk mencapai bukan hanya kesenangan dan kegembiraan, tetapi juga kebahagiaan.

Cinta akan diri, sesama dan Tuhan
                Makin saya mencintai diri saya sendiri, makin saya tidak mencintai yang lain karena cinta akan diri sendiri sama dengan egoisme. Jika mencintai sesama, karena ia adalah makhluk manusiawi, merupakan suatu kebajikan, maka mencintai diri sendiri, karena diri sendiri juga makhluk manusiawi, tentu saya suatu kebajikan bukan kecelaan. Ajaran agama mengatakan ” cintailah sesamamu seperti kamu sendiri. Ini berarti hormat kepada keutuhan dan kekhususaan diri sendiri, cinta dan pengertian akan dirinya sendiri, tidak terpisah dari hormat, cinta dan pengertian akan orang lain.
                Pada hakikatnya, cinta tak terbagikan dari pihak hubungan antara orang-orang lain dan dirinya sendiri. Kita mengatakan keakuan sendiri harus menjadi objek dari cinta kita dengan alasan yang sama untuk mencintai siapapun. Penegasan dari kehidupan, kebahagiaan, pertumbuhan dan kebebasan kita, berakar dalam kecakapan kita untuk mencintai, artinya dalam pengertian, hormat, tanggung jawab dan pengenalan. Jika seseorang dapat memberi cinta produktif, ia mencintai diri sendiri, tidak diri sendiri, juga tidak orang lain.
                Cinta akan diri sendiri dan cinta tak berkepentingan akan secara manusiawi dapat dicocokan atau didamaikan karena ciri khas dari makhluk rohaniah justru adalah menyempurkan diri lewat keterbukaannya kepada orang-orang lain. Keterbukaan ini secara konkret menjadi nyata dalam dimensi-dimensi cinta yang disebut ”perhatian sungguh-sungguh”, ”hormat, tanggung jawab dan pengenalan”. Itulah kegiatan yang mengagumkan yang bernilai.
                Jika kita harus mencintai Tuhan di atas segala-galanya dengan seluruh jiwanya, dengan seluruh hatinya dan tenaganya, maka itu sama dengan mengasingkan diri dari diri sendiri dan berhenti mencintai diri? Tidak. Menyerahkan kepribadian kita kepada Tuhan, kita tidak mengasingkannya. Tuhan bukan melawan kita, Tuhan adalah pokok pangkal dari keperibadian kita masing-masing.’
                Cinta yang paling dalam berasal kebebasan yang luhur, paling dalam yang membuat kita menjadi pokok pangkal dari pembentukan sebagai manusia autentik. Melalui itu kita bisa menangkap hubungan-hubungan erat yang mempersatukan cinta dan kebebasan, yang mengikat cita kepada kehematan dan kesederhanaan. Secara rela melepaskan diri dari apa-apa yang merintangi kita untuk memberikan diri adalah suatu prinsip kemajuan dalam cinta dalam kebebasan.
                Melepaskan dengan rela, bersikap positif karena melepaskan diri dari keterbatasan dan kekakuan-kekakuannya, kecongkakan dan prasangka-prasangkanya merupakan suatu keuntungan atau kemajuan. Pengorbanan (sacrificium) membuat kita masuk dalam suasana suci (sacrum facere). Dengan membuat kita jadi rela akan sesuatu cinta murni yang tidak mencari keuntungan diri , pengorbanan itu membuat kita lebih mengabil bagian dalam cinta yang menghidupkan dan yang berbalas kasihan.

Objek dan watak kodrati kehendak
                Yang dikehendai oleh manusia secara mutlak adalah kebaikan atau ada sebagai kebaikan. Sepanjang hidup ini, Tuhan tidak dikenal secara lengkap. Itu sebabnya mengapa manusia bisa tidak cenderung kepada-Nya pada taraf kesadaran jernihnya. Ia dapat menyimpang dari kebaikan ilahi. Pengingkaran eksplisit dari Tuhan itu bisa terjadi, karena manusia dapat berpaling secara eskplisit ke arah objek-objek lain seperti: kehormatan, kesenangan, kesehatan, kekuasaan dan sebagainya.
                Manusia mutlak ingin bahagia, secara objektif, kebahagiaan berada dalam Tuhan, kebaikan sempurna dan kehendak manusia, menurut kodratnya sendiri, cenderung kepada-Nya. Akan tetapi, secara subjektif, manusia membunyai kemampuan untuk meletakkan kebahagiaannya dalam realitas-realitas lain, yang akhirnya mengarah atau tidak mengarah kepada Tuhan. Kesempurnaan moral terdiri persis dari menetapkan keserasian yang sebaik mungkin antara kedua aspek (objektif dan subjektif) dari kehendak itu.
                Objek atau arah kecenderungan kehendak manusia biasanya disebut tujuan. Ini senantiasa adalah suatu kebaikan. Kebaikan ini berujud material atau non-material, fisik atau moral, riil atau semua. Kebaikan fisik adalah kebaikan yang baik untuk manusia sebagai suatu organisme dalam cosmos. Kebaikan moral adalah kebaikan yang baik untuk manusia sebagai ”ada” yang bebas. Kebaikan semu sesungguhnya adalah sesuatu yang jahat, tetapi tampak sebagai kebaikan. Kebaikan semu itu adalah kejahatan untuk manusia kalau ia dipandang dalam keseluruhannya, tetapi kejahatan itu tampak sebagai kebaikan untuk suatu tendensi yang lebih rendah.
                Tujuan termasuk dalam bidang nafsu, sedangkan nilai tergolong dalam afektivitas. Tujuan adalah yang memikat saya, nilai lebih merupakan sebabnya, mengapa yang memikat saya menimbulkan daya tarik terhadap saya. Orang melihat dengan jelas konsep tentang nilai tidak tanpa guna di dalam filsafat. Justru oleh karena interaksi terus menerus antara inteligensi dan kehendak itulah, maka manusia adalah suatu makhluk yang bebas. Hubungan antara kehendak dan intelegensi dapat diperbantingan dengan hubungan yang ada antara pengerak dan cahaya yang memimpin melalui terangnya. Kehendaklah yang cenderung kearah kebaikan dan intelegensilah yang menentukan jenis kebaikan kearah mana kehendak cenderung dalam suatu hal yang konkret.
                Peranan kehendak adalam memperhatikan bahwa perumusan itu dibawahi oleh kebaikan bagi manusia sebagai keseluruhan. Kecenderungan fisilogis (kelaparan, kehausan, seksualitas) peranan kehendak terutama adalam peranan pengarahan dan kontrol. Kecenderungan lain (keingintahuan, sosiabilitas, ambisi, naluri) dapat digunakan secara langsung oleh kehendak. Ia tidak hanya sekedar manuasai mereka tetapi harus menjiwai mereka dan memanfaatkan tenaga-tenaga mereka untuk mencapai secara lebih lengkap kebaikan dari manusia secara keseluruhan.

Keaslian kehendak
                Keaslian itu adalah keaslian pengetahuan intelektual, walau tidak dapat berada tanpa pengetahuan inderawi, namun sifat lebih tinggi dan tidak bisa direduksikan kepadanya. Semua perbuatan penguasaan diri (self control) adalah perwujudan kehendak. Dalam kegiatan jenis itu, kita sadar akan kenyataan bahwa dalam diri kita terdapat suatu kecenderungan lebih tinggi yang menguasai kecenderungan-kecenderungan yang lain.
                Orang dapat menunjukkan perhatian sengaja yang jelas dapat dibedakan dengan perhatian spontan. Perhatian spontan ada pada binatang. Ini adalah pemusatan indera dan otak pada suatu objek yang menguntungkan bagi suatu kecenderungan tertentu. Pada perhatian sengaja, kita memusatkan indera pada perhatian sadar kita pada suatu objek yang tidak secara spontan menarik perhatian kita. Kita memusatkan diri kita kerana kita menghendakinya, kita memutuskan untuk berbuat begitu. Kita menhendakinya karena inteligensi kita mengatakan kepada kita bahwa itu adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan. Bandingkan , misalnya perhatian yang diberikan pada sebuat film polisi yang menegangkan, dengan perhatian yang berdasarkan keputusan dan ditujukan pada sebuak teks penting dan sulit (untuk mempersiapkan sebuah kursus atau ujian).



Alasan membenarkan kebebasan
                Kebebasan berarti ketidakpaksaan. Ada macam-macam paksaan dan kebebasan. Kebebasan fisik adalah ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral adalah ketiadaan paksaan moral buka atau kewajiaban. Kebebasan  psikologis adalah ketiadaan paksaan psikologis, suatu paksaan psikologis berupa kecenderungan yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan tertentu. Kebebasan psikologis disebut juga kebebasan untuk memilih antara berbagai tindakan yang mungkin. Orang menyebutnya juga sebagai kualitas kehendak.
                Beberapa pemikir modern dan ahli psikologi menginkari kebebasan kehendak itu. Tiga argumen klasik mengeni kehendak, yaitu:
1)     argumen persetujuan umum, sebagian besar manusia percaya bahwa mereka dilengkapi dengan kehendak bebas, kehendak manusia adalah bebas. Pikiran sehat (common sense) menyatakan kebabasan itu, kebebasan itu adalah kehendak manusia. Cara orang bertingkah laku sangat mempengaruhi sikapnya terhadap doktrin kebebasan. Sesungguhnya bertingkah laku seperti mereka yang mengakui kebebasan kehendak, kehendak mereka dan kehendak orang lain membawa kita kepada argumen kedua.
2)     argumen psikologis, sebagian besar manusia secara spontan mengakui kebebasan, sebagai hasil pengalaman. Secara langsung atau tidak langsung menyadari itu. Kesadaran langsung akan kebebasan, muncul dari ”aku” saya yang dalam, dari dasar kepribadian saya, dari kehendak saya yang bebas, kalau saya mengambil suatu keputusan, terutama untuk sesuatu yang penting dari pihak moral, saya sadar bahwa keputusan itu bebas. Bagaimana proses kita menjadi sadar tentang siapa itu kita, itu sesuatu yang sangat berbeda dengan pengetahuan ilmiah atau pengalaman kita sehari-hari. Kesadaran tak langsung, akan kebebasan keputusan kita. Beberapa tindakan kita sehari-hari benar-benar kita sedari tidak dapat diterangkan seandainya kita tidak bebas. Kita berunding sebelum mengambil keputusan, kita mempertimbangan pro dan kontra, kita menyesalkan keputusan yang lalu ini berarti kita bebas berbuat yang lain. Kita mengagumi, memuji dan menghadiahi perbuatan baik dan heroik secara implisit kita menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan itu tidak dipaksa untuk berbuat demikian. Kebebasan itu justru terdiri atas penguasaan rintangan – rintangan sejenis itu. Kita mempunyai kesan bahwa kita bebas karena kita tidak sadar akan motif-motif yang menentukan kita. Suatu keputusan yang tampak diambil oleh si subjek secara terpaksa , tanpa diketahuinya motif yang menekannya, bukanlah pilihan bebas, tetapi suatu tindakan komplusif.
3)     argumen etis, seandainya tidak ada kebebasan, tidak akan ada juga tanggung jawab moral, kebajikan, jasa, keharusan moral, kewajiban. Hubungan yang kuat antara kebebasan dengan realitas-realitas spiritual itu jelas dan salah satu tugas dari etika adalam memperlihatkannya. Alasan itu sangat kuat karena rasa kewajiban moral adalah sangat wajar pada manusia. Bahkan mereka yang menyangkal realitas-realitas itu dalam teori kelakukan dalam kehidupan konkret seakan-akan realitas itu memang ada. Kebebasan adalah suatu pengabdian dari pelaksanaan penilaian rasional, pembedaan antara yang benar dan yang salah, tetapi kebebasan adalah suatu mengandaian kehidupan moral. Kita mengakui bertanggung jawab terhadap perbuatan kita, kita pun berpendapat bahwa orang lain bertanggung jawab terhadap perbuatan sendiri dan akan tiada artinya kita bersikap demikian seandainya kita tidak percaya bahwa perbuatan-perbuatan itu sungguh perbuatan seorang pelaku moral.
Tidak ada kehidupan sosial apa pun tanpa ada keharusan dan kewajiban. Dalam hubungan dengan orang-orang lain, kita sadar akan keharusan tertentu yang kita punyai terhadap mereka. Sama halnya bahwa kita sadar akan keharusan-keharusan yang mereka miliki terhadap kita. Jadi, kita dapat menganggap secara umum manusia bebas.
                Sebagai kosenkwensi bisa terjadi bahwa suatu kelompok mayoritas akan memutuskan pembinasaan suatu minoritas sebagai suatu kebaikan dan diperbolehkan. Rasa moralah yang membrontak terhadap kedahsyatan sebesar itu.
                Pendekatan empiris, argumen psikologis dan argumen etis, berdasarkan atas semacam pengalan pribadi dan oleh sebab itu akan mempunyai nilai hanya bagi mereka yang pernah berkelakuan secara bebas dalam kehidupan mereka. Tidak mustahil bahwa beberapa orang tak pernah membuat suat kegiatan pun yang memang bebas dalam keseluruhan kehidupan mereka. Bagi mereka argumen tersebut tidak sesuai dengam pengalaman mereka dan karena itu tidak relevan.

Dasar ontologis kebebasan
                Kebebasan manusia tidak hanya terdiri dari kemampuan untuk melakukan apa yang diingininya. Manusia tidak berbuat apa yang diingininya, tetapi juga memutuskan apa yang ingin diperbuatnya: ini atau itu. Apa yang ingin diperbuatnya tergantung padanya dan ia tidak dikendalikan oleh suatu paksaan intern. Coba kita melihat tiga tahap yang merupakan suatu yang kontinuitas yang dinamis yaitu:
1)     mari kita tanya, kebaikan manakah akan dapat memenuhi secara total aspirasi-aspirasi manusia? Semua orang bijaksana akan setuju menjawab bahwa satu-satunya hal yang akan dapat memuaskan tuntutan itu adalah yang baik, kebaikan total, sempurna dan tak terbatas . itulah yang merupakan cita-cita manusia. Keinginan fundamental dari manusia pada akhirnya adalah kebaikan sempurna atau total.
2)     Mari kita bertanya, objek manakah yang dalam kehidupan ini, yang akan dapat seimbang dengan cita-cita tersebut (objek formal kehendak)? Kebahagiaan  yang sempurna tidak terdapat di atas bumi ini, manusia hanya menemukan kebaikan-kebaikan yang selalu kurang.
3)     Oleh sebab itu, tidak ada suatu kebaikan terbatas pun yang dapat memaksa manusia untuk mengikutinya.
Jadi, kita bebas menghendaki atau tidak menhendaki kebaikan-kebaikan konkret yang kita hadapi karena tentang mereka semua dapat kita katakan: ini adalah suatu yang baik, tapi tidak baik secara sempurna. Kita bisa mengucapkan itu sebab kita melihat bahwa diantara semua hal yang baik itu tak ada satupun yang seimbang dengan kebaikan sempurna. Lalu apa yang menyadarkan kita tentang ketidak cukupan tersebut, ialah keterbukaan dinamisme intelektual kita terhadap keseluruhan yang ”ada”, ”ada” yang mutlak (aspek cognitif) yang dikumandangkan oleh kebaikan total. Dinamisme lengkap bersifat intelektual dan tendensial (berkat kehendak), berbentuk spritual (non-material), maka  kita bebas karena kita bersifat roh.
                Dalam dimanisme total itu, intelegensi dn kehendak saling berintegrasi secara vital, berkat itulah kita bersifat roh. Pasti kita adalah roh yang terbatas, namun roh kita, melalui keterbukaannya yang tak terbatas, menikmati semacam keterbatasan tendensial, itulah alasan mengapa kita adalah bebas. Manusia tidak akan dapat menyadari relativitas dari semua yang dialaminya, seandainya ia tidak mempunyai tututan yang untuk”yang mutlak”. Tuntutan itu memerlukan kehadiran dalam manusia, ”Yang Mutlak” yang menjamin autentisitasnya.

Saat-saat dari Suatu Pilihan Yang Bebas 
                Dalam sutu pilihan bebas, orang dapat membedakan berbagai saat, keputusan diambil cepat tanpa disadari,saat itu selalu tampil kalau pilihan adlah benar-benar bebas.
1)     daya tarik dijalankan oleh suatu hal baik atas kehendak, daya tarik seperti itu meskipun normal atau spontan, akan dinamakan godaan jikalau kebaikan itu sekaligus bersifat jeleh dari pihak kewajiban saya.
2)     Saat ini adalah untuk memeriksa hak baik itu yang menarik perhatian.
3)     Saat ini adalah saat mempertimbangkan, pro dan kontra suatu tindakan dibawah cahaya intelegensi. Nonton atau belajar? Pertimbangandilihat aspek positif dan negatif.
4)     Cepat atau lambat, kita memutuskan: saya memilih kebaikan ini.keputusan ini bersifat intelektual. Penenryuan final muncul dari intervensi kita, dari ”aku”kita yang paling dalam, dimana intelegensi dan kehendak menemukan sumber umumnya. Itulah suatu pilihan yang bebas.

Kecenderungan yang Dominan
                Baik atau Kebaikan, adalah istilah relatif, sesuatu dikatakan baik sehubungan dengan seseorang. Aspek kebaikan berubah bukan hanya jika objek berubah,  tetapi juga kalau subjek berubah. Perubahan yang lain yang mempengaruhi kita secara lebih dalam. Ini adalah keputusan-keputusan bebas kita sendiri, kita memilih kebaikan moral dan kita memperbaiki sendiri secara moral. Maka kecenderungan dominan yang terdiri dari pengaruh yang semakin besar dari pilihan-pilihan lampau atau pilihan-pilihan sekarang. Sebagian besar dari kegiatan-kegiatan kita bersumber dari watak kita, bukan watak spontan yang ditentukan, tetapi dimensi watak yang dikontrol, yang terhadapnya kita bertanggung jawab sebagian besar, karena dimensi itu adalah hasil rangkaian pilihan bebas.
                Suatu kecenderungan dominan bukanlah suatu kecenderungan yang mendeterminasikan. Meskipun kecenderungan itu menimbulkan suatu pengaruh kuat atas kegiatan-kegiatan dari seseorang, namun tidak pernah dapat memaksa orang itu untuk mengikutinya. Kecenderungan itu sendiri, sebagaimana dikehendaki dan dijalankan secara bebas, demikian dia juga dapat dibantah setiap saat, bahkan dibinasakan secara bebas. Itulah sebabnya orang dapat membedakan tiga kategori fundamental dari kegiatan bebas.
1)     kegiatan bebas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kecenderungan dominan.
2)     Kegiatan bebas yang bebas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang kontra kecenderungan dominan, biasa bersifat egoisme antara positif dan negatif. Penyelewengan dari garis pokok dalam kehidupan seseorang menunjukkan bahwa kepribadian belum dipersatukan secara total oleh ideal yang dominan.
3)     Kegiatan-kegiatan yang terpenting, tidak hanya ada penyelewengan kepada kecenderungan dominan, tetapi pemisahan total dari kecenderungan dominan itu. Orang meninggalkan garis kelakuannya yang biasa dan mengubah orientasi fundamental kehidupannya.

Kebebasan Horizontal dan kebebasan Vertikal
                Suatu pilihan moral harus dibuat, keputusan kita tidak akan tergantung hanya dari kepuasan atau keuntungan yang paling besar. Dalam hal ini, umumnya pilihan akan diambil antara apa yang paling memuaskan kepentingan kita dan apa yang paling sesuai dengan suara hati kita yang spritual, antara egoisme dan kemurahan hati, harus memutuskan pada tingkat mana ia harus hidup. Jenis kebebasan ini disebut ”kebebasan Vertikal”. Kebebasan vertikal, tujuan sendirilah yang dipertimbangkan, tujuan adalah kebahagiaan.
                Pilihan-pilihan (antara A atau B) itu ditentukan oleh faktor-faktor yang tak terbilang banyaknya, yang timbul dari pendidikan dan lingkungan. Kebebasan vertikal menyangkut tingkatn di mana orang ingin membangun seluruh hidupnya. Kekebasan dalam arti yang sebenarnya, menurut arti sepenuhnya kata itu, hanyalah jikalau nilai-nilai moral dilibatkan, jika berada di hadapan alternatif-alternatif yang menentukan, sampai batas tertentu, nilai moral dari seluruh kehidupan kita
                Kebebasan adalah suatu kemampuan yang begitu penting dan begitu besar sehingga hanya dapat diberikan kepada kita untuk sesuatu yang sangat penting. Melalui kebebasan sejati, kita membagi, dalam arti tertentu, kekuasaan mencipta sendiri dari Tuhan. Namun, satu-satunya hal yang dapat kita cipta adalah kepribadian moral kita sendiri dan tampaknya kebebasan diberikan kepada kita hanya untuk realisasi tujuan tertinggi itu.
Kebebasan dihadapapkan kepada determinisme-determinisme, pembicaraan menyangkut sebagai berikut:
1)     ada suatu bentuk determinisme yang disebut determinisme fisik, ialah determinisme hukum-hukum alam semesta sebagai sistem dunia material. Berbentuk rangkaian kuasa-kuasa dan akibat-akibat, sehingga manusia tak dapat melepaskan dirinya, pandangan ini mungkin tidaklah benar, karena kebebasan diletakkan secara salah. Kebebasan terjadi pada tingkat alasan-alasan atau motif-motif dan bukan pada tingkat sebab – sebab fisik yang ada.
2)     Suatu konsepsi yang lebih mendasarkan biologi daripada fisik, berpendapat bahwa manusia telah diprogramkan sebelumnya secara begitu luas oleh berbagai faktor gen-gen (hereditas) , sehingga tidk ada tempat untuk kegiatan-kegiatan yang memang bersifat bebas.
3)     Dari sudut, yang mana manusia begitu diterminasikanoleh berbagai faktor sosial sehingga ia tidak lain daripada hasil hubungan sosial. Itulah yang dinamakan determinisme sosiologis. Keputusan yang dianggap sebagai paling pribadi ditentukan oleh lingkungan sosialnya.
4)     Kadng-kadang bukan hanya ilmu-ilmu pengetahuan manusia saja yang menyangkal kebebasan, terdapat juga determinisme teologis tertentu. Manusia sama sekali determinasikan oleh Allah, kemahatahuan Allah, kemahakuasaan Allah. Jadi tak mungkin manusia bebas.
5)     Determinisme yang muncul dari ketidak sadaran. Psikologi menjelaskan bahwa manusia tekanan dari ketidaksadaran dan pentingnya kekuatan irrasional dalam aktivitas manusia.

Kesimpulan

1.     Affection (Afektivitas)
Cipta (kognisi), karsa (konasi), rasa (afeksi), itulah trias-dinamika manusia, atau manusia sebagai trias-dinamika. Diakui bahwa manusia bukan saja memiliki kemampuan kognitif-intelektual, tetapi juga afektivitas. Afektivitas juga membuat manusia berada secara aktif dalam dunianya serta berpartisipasi dengan orang lain dan dengan peristiwa-peristiwa dunianya. Melalui peranan afektivitaslah, manusia tergerakkan hatinya, keinginannya, dan perasaannya atau ketertarikannya untuk mengamati, mempelajari, dan mengembangkan pengada-pengada aktual di sekitarnya menjadi bagian dari proses keberadaannya. Afektivitas tidak sama dengan pengetahuan, namun menjadi penggerak atau penyebab dan sekaligus akibat dari proses pengetahuan manusia dalam arti penerapannya dalam bentuk perbuatan atau tindakan. Prinsipnya, orang hendaknya tidak terlalu cepat membuat dikotomi mengenai pengetahuan dan afektivitas. Karena terdapat kemungkinan bahwa pengetahuan tertentu mungkin hanya tercapai melalui perasaan.
Pengetahuan eksistensial mempunyai sifat sebagai kepastian bebas dan memberi alasan untuk percaya bahwa kebebasan manusia tidak pernah absen dari penegasan intelektual mengenai adanya afektivitas dalam alam pengetahuannya. Cinta (disebut afektivitas positif) atau benci (disebut afektivitas negatif) dapat menjadi dasar penentuan bagi suatu tindakan kognitif. Hal ini tentunya dilakukan melalui suatu dasar penempatan diri yang jelas. Afektivitas bukan hanya tindakan ke arah kebutuhan selera, kecenderungan. atau apa yang jasmaniah saja. tetapi juga spiritual dan intelektual atau intelligible. Afektivitas adalah satu dari unsur-unsur pokok dasariah dari cara berada manusia di dunia. dan satu dari dimensi-dimensi esensial roh manusia. Perbuatan afektif harus dimengerti sebagai segala gerakan atau kegiatan batin yang karenanya subjek ditarik atau ditolak.
Jadi, untuk mencapai afektivitas, subjek harus berada dalam kondisi dimana subjek akan melahirkan kegiatan afektif. Adapun kondisi-kondisi tersebut ialah:
1.     Pertama, antara subjek dan objek harus ada ikatan kesamaan atau kesatuan itu sendiri, karena ketika tidak ada kesamaan maka tidak akan ada afektivitas. Sebagai contoh ketika kita berhubungan dengan sebuah objek maka dalam diri objek terdapat sesuatu yang membuat kita tertarik atau menjauhinya, sesuatu yang ada pada diri objek pasti juga ada dalam diri subjek yang akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif baik menerima atau menolak.
2.     Kedua, nilai (baik dan buruk), dalam kondisi ini, ketika objek dipandang memiliki sebuah nilai maka subjek akan melahirkan kegiatan afektif, karena afektivitas itu sendiri adalah berdasar pada kecintaan akan sesuatu maka subjek pada akhirnya akan melahirkan kegiatan afektif untuk menolak atau menerima.
3.     Ketiga, sifat dasariah dan kecenderungan kognitif, pada kondisi ini subjek akan dalam melakukan sebuah afektif harus ditunjang dengan sebuah sifat dasariah yang akan mendorong dia untuk lebih cenderung, selera, berkeinginan akan sesuatu yang pada akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif yang ternyata memang sesuai dengan sifat dasariah tersebut.
4.     Keempat, mengenal adalah kausa dari afektivitas. Dalam proses mengenal subjek akan mengalami kondisi dimana dia harus berusaha mendefinisikan objek yang akan dikenalinya dan ketika definisi tentang objek tersebut telah tercapai maka pada akhirnya akan lahir sebuah keputusan afektif apakah dia harus menyerang, mencintai, mempertahankan diri atau yang lainnya.
5.     Kelima, imajinasi. Untuk menimbulkan kegiatan afektif maka imajinasi dapat menjadi sebuah pendorong, semangat, mempengaruhi bahkan membohongi. Pengetahuan pertama (baik dari pengalaman atau informasi dari pengenalan) akan melahirkan sebuah deskripsi awal tentang objek, maka dalam kondisi ini subjek akan dipengaruhi untuk bertindak seperti apa yang ia dapat pada pengalaman-pengalaman dan imajinasi yang dia dapatkan terdahulu
               
2.     Freedom (Kebebasan)
Aktualitas ide kebebasan manusia juga didasarkan pada kenyataan adanya perkembangan arti kebebasan sesuai dengan situasi dan kondisi manusia. Arti dan makna kebebasan pada jaman sekarang tidak bisa disempitkan hanya pada pengertian kebebasan dalam masyarakat kuno atau masyarakat pra-modern. Pada jaman penjajahan kebebasan mungkin lebih diartikan sebagai keadaan terlepas dari penindasan oleh penjajah. Namun pada masyarakat modern, di mana bentuk penjajahan terhadap kebebasan juga semakin berkembang, misalnya dengan adanya gerakan modernisasi dan industrialisasi yang membawa perubahan yang radikal pada cara berpikir manusia, arti kebebasan juga mempunyai makna yang lebih luas. Kebebasan pada jaman sekarang bukan hanya berarti sekedar terbebas dari keadaan terjajah, namun mungkin lebih berarti bebas untuk mengaktualkan diri di tengah-tengah perkembangan jaman ini.
Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban. Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar. Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya.  Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri.
“Freedom is self-determination”.  Kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda. Kebebasan yang nampak secara sekilas dalam binatang-binatang pada dasarnya bukan kebebasan sejati. Mereka dapat menggerakkan tubuhnya ke mana saja, tetapi semuanya itu sebenarnya bukan berasal dari diri binatang itu sendiri. Gerakan binatang bukanlah hasil dorongan internal diri binatang. Kebebasan mereka adalah kebebasan sebagai produk dorongan-dorongan instingtualnya. Dengan istilah instingtual dimaksudkan tidak adanya peran akal budi dan kehendak. Dalam arti itu sebenarnya di dalam diri binatang-binatang tidak  ada kebebasan.
Secara ringkas Louis Leahy membedakan tiga macam atau bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis.
1.     Kebebasan fisik menurut Louis Leahy adalah ketiadaan paksaan fisik. Artinya adalah tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang bersifat fisik atau material. Dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki.
2.     Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif. Yang men-ciri-khas-kan kemampuan itu adalah adanya kehendak bebas. Karena itulah Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk memilih atau kebebasan berkehendak.
3.     Kebebasan memilih atau kebebasan berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau kebebasan untuk berbuat dengan cara begini atau begitu, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus ditawarkan kepada manusia.