Manusia : Afektivitas dan kebebasan
Kekayaan dan
Kompleksitas Afektivitas Manusia
Manusia mempunyai kemampuan mengenal dan afektivitas.
Kita dianugrahi afektivitas, maka kita tidak merasa puas dengan memandang alam
semesta saja, hal-hal menarik perhatian
kita, menggerakkan hati kita. Afektivitaslah yang menjadi pangkal kita bicara,
tanda-tanda yang saling kita berikan atau
ekspresi muda dan dialog. Oleh karena itu sering bericara dengan
orang-orang tentang hal yang menarik perhatian kita. Afektivitaslah yang memperlihatkan diri dalam berbagai kelakuan
kita termasuk kelakuan seksual. Melalui afektivitas kita didorong untuk
mengikatkan diri pada sesuatu atau seseorang, mengabdi untuk menjadi kreatif,
membela diri, menyerang, dan bertempur.
Afektivitas manusia menyangkut kegiatan kompleks,
sebelum kita sampai menyatakan secara tepatapa afektivitas itu, kita
memperhatikan kekayaan dan menjelaskan yang paling penting dari afektivitas.
Seluruh kegiatan afektivitas bersandar pada dua hal, yaitu mencintai dan
mencintai Cinta sebagai akibat afektivitas yang baik disebut afektivitas
positif, sedang benci sebagai akibat dari sesuatu yang jelek yang disebut
afektifitas negatif. Jadi, pada
hakikatnya cintalah yang berada pada asal mula dari seluruh hidup
afektif, sekurang-kurangnya rasa cinta pada diri sendiri.
Suasan hati dasariah, entah normal atau patologis, itulah
yang menentukan bagaimana setiap orang berbeda dalam dunia, yang memberikan
kepadanya gaya kelakukan yang mewarnai seluruh kehidupan afektifnya. Suasana
hati dasariah setiap orang, ”lengkung
intensionalnya” adalah yang merupakan akar kehidupan afektifnya, dimana
perpaduan antara tubuh dan rohnya, antara yang organis dan yang psikolog.
Apa yang bukan
perbuatan afektif
Sejauh kita mengenal seseorang kita dapat
mencintainya, dan hanya dengan mencintainya sungguh-sungguh kita dapat
mengertinya. Namun, mencintai bukanlah mengerti dan mengerti bukanlah
mencintai. Buktinya, seseorang yang mempertimbangkan atau cara tentang
kebenaran, keadilan, cinta dan kesetiaan tidak selalu cenderung, secara
afektif, bersikap baik terhadap nilai-nilai itu, meskipun pengetahuan atau
kefasihannya memberi kesan demikian. Sering juga sesorang yang dengan
berapi-api dan mengabdikan diri sekuat
tenaga tidak selalu berbuat secara inteligen.
Cinta pada umumnya cenderung kesatuan afektif, yang
terdiri dari kecenderungan, gerakan hati, proporsi, persesuain, kecocokan dan
kerelaan. Kehidupan afektif disebut ”affectueux” artinya lembuh dan ramah.
Afektivitas dan kehidupan afektif, harus meliputi semua sikap jiwa dari mana
subjek didorong yang mendekatan dari mana baginya merupakan sesuatu yang baik,
atau dengan melarikan diri dari atau melawan apa yang baginya adalah sesuatu
yang buruk.
Istilah ”Affect” juga mengandung arti, semua keadaan
afektif, menyusahkan atau menyenangkan. Afektif disamakan denga kesanggupan
merasa, yaitu keseluruhan kecenderungan yang berbeda dari aspirasi-aspirasi
yang betul-betul rohaniah dan malah mereka atau kesanggupan merasa. Demikian
pula kehidupan afektif kita bersifat jasmaniah dan dapat di rasa saja, tetapi
kearah inteligebel dan spiritual. Afektivitas manusia tidak terbatas pada
gerakan-gerakan naluriah, tetapi juga pengaruh kebebasan. Oleh sebab itu,
afektivitas termasuk dalam unsur-unsur pokok dasariah kita berada di dunia dan
dimensi-dimensi esensial roh kita.
Apa yang
merupakan perbuatan afektif
Hidup afektif atau afektivitas adalah keseluruhan
dari perbuatan afektif yang dialami oleh subjek dan juga dinamisme-dinamisme
perbuatan-perbuatannya. Perbuatan harus dimengerti sebagai segala pergerakan
batin yang akrena subjek ditarik oleh objek atau sebaliknya. Akan tetapi
perbuatan afektif sungguh berbeda dari perbuatan mengenal. Penyebabnya adalah:
1)
perbuatan afektif itu lebih
pasif dari perbuatan mengenal. Perbuatan afektif subjek lebih
dipengaruhi/dikuasai oleh objek. Akibatnya dalam perbuatan
subjek lebih dikenal oleh pihak objek,
2)
sejauh si subjek dikenal secara
lebih intensif oleh objek, maka perbuatan afektif bisa disebut lebih ekstatis
daripada perbuatan mengenal. Karena lebih dinamis dan lebih afektif daripada
perbuatan mengenal, maka perbuatan afektif juga lebih bersifat realistis,
karena subjek lebih dihunungkan dengan apa yang khusus dan nyata dalam objek
itu, berkat perbuatan itu, subjek cenderung mendekati atau menghindari objek
justru sebagaimana adanya, apakah menggunakan atau mengabdi kepadanya atau juga
menolongnya untuk maju atau sebaliknya menghancurkannya.
3)
Perbuatan afektif lebih
bersikap partisipasi dan kesatuan daripada perbuatan mengenal. Ini menjadi
nyata dalam cinta, cinta kesarakahan atau cinta keuntungan pertama-tama
cenderung memakai objeknya, cari untung itu atau nikmat, tetapi cita kerelaan
lain, itu adalah persesuaian si subjek dengan objek.
Jadi, Perbuatan afektif berbeda dengan perbuatan mengenal sejauh yang
pertama mengarahkan kita lebih kepada dunia dan membuat kita berada secara
lebih langsung dan lebih intensif bersama dengan hal-hal, jadi bersifat lebih
eksistensial.
Kondisi-kondisi
afektifitas manusia
Supaya ada afektifitas harus ada suatu daya
tarik-menarik atau suatu ikatan kesamaan atau gabungan tertentu antara si
subjek dan objek perbuatan afektifnya. Akan menjadi nyata bila dibicarakan itu
cinta dan perasaan-perasaan yang berhubungan dengan cita karena jelaslah cita
secara intisariah adalah persesuaian dan penelanan (sintonisasi), kesatuan dan
dua pihak yang ada persamaannya dan saling melengkapapi. Secara Psikologi juga
menyangsikan bahwa permusuhan dari seseorang menjadi makin sukar bagi kita,
bila yang bermusuhan itu makin berikatan dengan kita.
Plato dan Aristoteles mendefinisikan kebaikan atau
yang baik itu sebagai apa-apa yang dapat dijadikan objek dari keinginan atau
dari kecenderungan, sebagai apa-apa yang dapat cocok, karena alasan ini atau
itu, dengan sesuatu atau dengan seseorang. Mereka membedakan antara sesuatu
yang baik karena berguna (bonum utile), sesuatu baik karena enak atau
menyenangkan (bonum delectabile) dan sesuatu baik karena pantas (bonum
honestum).
Pengertian nilai, apa yang pantas diinginkan dan
dikehendaki oleh manusia, seperti hidup, cinta, kebenaran, keindahan, keadilan,
kebebasan, kreativitas dan lain-lain. Di tinjau dari sudut subjek, maka nilai
itu membangkitkan dalam dirinya rasa hormat dan kekaguman, menimbulkan
persetujuan dan keterlibatannya dan sebagai gantinnya menjanjikan kepadanya
penyempurnaan bagi dirinya sendiri. Dipandang dari dalam diri sendiri nilai itu
adalah sesuatu yang betul-betul berharga, yang pantas diperoleh dengan
perjuangan keras dan makin orang dengan sepenuh hati memperjuangkan itu
makin itu atau menyamakan diri sebagai
lebih kaya, nilai bersandar pada Yang Mutlak atau menyamakan diri dengan-Nya
yang melebihi semua objek dimana nilai direalisir untuk sebagi saja. Akan tetapi yang baik dan bernilai
berhubungan dengan subjek.
Cinta akan
diri sendirilah yang selalu ditemukan pada pangkal segala afektivitas sesuatu
makhluk. Untuk terjadinya perbuatan
afektif tidak cukup bahwa subjek itu mengenal apa yang menarik baginya atau
menyenangkan, tetapi ia juga secara fundamental dan langsung siap sedia untuk
mengalaminya sebagai suatu yang diinginkan atau ditolak. Ia secara fundamental
disiap-siagakan oleh keadaannya sendiri yaitu karena hidup atau karena
manusiawi, oleh karena alam yang telah melengkapinya dengan dinamisme-dinamisme
afektif yang ini atau itu.
Ia
disiap-siagakan secara langsung dengan
kurang lebih baik menurut perkembangan yang telah dialaminya atau pendidikan
yang telah diterimanya. Orang-orang memutuskan pekerjaannya, kita tahu sekarang
bahwa pengalaman-pengalaman afektif pertama pada masa kanak-kanak sangat
menentukan untuk keseimbangan kepribadian dewasa.
Kesenangan
harus dicurigai?
Dari semua afektif, mungkin kesenanganlah yang
merupakan cara yang paling sesuai dengan kodrat kita. Sekurang-kurangnya,
kesenanganlah yang kita cari secara paling spontan. Pentinglah ditinjau
peranannya dalam kehidupan afektif dan diakui betapa kesenangan itu perlu dalam
kehidupan kita, tetapi juta kita harus memberi perhatian kepada apa yang ambigu
di dalamnya.
Kesenangan (plaisir, pleasure) adalah perasaan
yangdialami oleh suatu subjek kalau ia didalangi atau dihinggapi oleh suatu
”berada lebih intensif” atau ”berada lebih baik”, sebagai hasil dari ”bertindak
dengan baik” atau ”mengalami dengan baik”.
Lawan dari kesenangan, penderitaan (douleur, sorrow)
adalah cara afektif yang timbul dalam diri kita oleh karena salah satu
kecenderungan-kecenderungan kita dilawan, dirintangi, digagalkan, entah karena
objek kecenderungan itu luput atau ditarik kembali dari kita, entah kita tidak
sampai mencapainya, mempergunakannya, atau berkomunikasi dengannya. Untuk lebih
tepat kita dapat memberdakan penderitaan (duleur, sorrow) dan sengsara
(souffrance, pain). Penderitaan mengandung arti penolakan atau protes si subjek
terhadap suatu pengecilan dari keperibadiannya, sedangkan sengsara lebih baik
dikatakan menunjukkan pengecilan itu
sendiri.
Istilah-istilah kesenangan dan penderitaan dikatakan
bukan hanya tentang terpenuhi atau tidaknya suatu kebutuhan jenis biologis,
tetapi juga tentang terkabul atau tidanya suatu kecenderungan jenis rohaniah.
Kesenangan dan penderitaan yangdapat dialami setiap orang ditentukan sifatnya
dan diukur oleh sifat jiwanya yang dasariah. Akan tetapi, jelas juga bahwa
kesenangan dan penderitaan yang dialami setiap insan juga mempengaruhi sifat
jiwanya dan sampai batas tertentu mengubahnya.
Kecurigaandari para moralis terhadap kesenangan atau
sekurang-kurangnya kekerasan mereka terhadap orang-orang yang dalam segala hal
mencoba melulu mencari kesenangan mereka, tidak tanpa dasar. Sebab manusia dari
satu pihak berusaha mencari ”yang mutlak” dan kerinduan akan yang tak terbatas
dan sebab dari lain pihak ia adalah jasmani dan terbatas, maka secara spontan
ia dapat cenderung untuk memenuhi kebuhtuhannya akan yang mutlak dengan memakai
hal-hal yang nisbi dan untuk memproyeksikan keinginannya akan yang tak terbatas
di dalam realitas terbatas ditemukan dan dilaksanakannya. Keberatan pokok
terhadap perbuatan itu adalah mempersempit cakrawala dari subjek dan mengurangi
jangkauan afektivitasnya.
Dapat dimengerti relavansi seruan-seruan untuk hidup
sederhana dan menguasai diri. Ajakan itu masih bergema dalam anjuran-anjuran
rohaniawan dari semua agama yang besar. Sesungguhnya sengsara itu mencegah kita
menghendaki yang kurang dan membawa kita sampai menghendaki yang lebih. Orang
tidak memperoleh yang tak terbatas seperti memperoleh suatu barang, orang hanya
dapat memperolehnya dengan membuka diri kepada yang abadi, mengosongkan diri
dan mati raga.
Bersedia menjawab dengan seluruh kepribadian
panggilan dan Sang Nilai, itulah sifat khas bagi hati besar. Itulah puncak dari kehidupan efektif. Itulah yang
memperbolehkn manusia untuk mencapai bukan hanya kesenangan dan kegembiraan,
tetapi juga kebahagiaan.
Cinta akan
diri, sesama dan Tuhan
Makin saya mencintai diri saya sendiri, makin saya
tidak mencintai yang lain karena cinta akan diri sendiri sama dengan egoisme.
Jika mencintai sesama, karena ia adalah makhluk manusiawi, merupakan suatu
kebajikan, maka mencintai diri sendiri, karena diri sendiri juga makhluk
manusiawi, tentu saya suatu kebajikan bukan kecelaan. Ajaran agama mengatakan ”
cintailah sesamamu seperti kamu sendiri. Ini berarti hormat kepada keutuhan dan
kekhususaan diri sendiri, cinta dan pengertian akan dirinya sendiri, tidak
terpisah dari hormat, cinta dan pengertian akan orang lain.
Pada hakikatnya, cinta tak terbagikan dari pihak
hubungan antara orang-orang lain dan dirinya sendiri. Kita mengatakan keakuan
sendiri harus menjadi objek dari cinta kita dengan alasan yang sama untuk
mencintai siapapun. Penegasan dari kehidupan, kebahagiaan, pertumbuhan dan
kebebasan kita, berakar dalam kecakapan kita untuk mencintai, artinya dalam
pengertian, hormat, tanggung jawab dan pengenalan. Jika seseorang dapat memberi
cinta produktif, ia mencintai diri sendiri, tidak diri sendiri, juga tidak
orang lain.
Cinta akan diri sendiri dan cinta tak berkepentingan
akan secara manusiawi dapat dicocokan atau didamaikan karena ciri khas dari
makhluk rohaniah justru adalah menyempurkan diri lewat keterbukaannya kepada
orang-orang lain. Keterbukaan ini secara konkret menjadi nyata dalam
dimensi-dimensi cinta yang disebut ”perhatian sungguh-sungguh”, ”hormat,
tanggung jawab dan pengenalan”. Itulah kegiatan yang mengagumkan yang bernilai.
Jika kita harus mencintai Tuhan di atas
segala-galanya dengan seluruh jiwanya, dengan seluruh hatinya dan tenaganya,
maka itu sama dengan mengasingkan diri dari diri sendiri dan berhenti mencintai
diri? Tidak. Menyerahkan kepribadian kita kepada Tuhan, kita tidak
mengasingkannya. Tuhan bukan melawan kita, Tuhan adalah pokok pangkal dari
keperibadian kita masing-masing.’
Cinta yang paling dalam berasal kebebasan yang luhur,
paling dalam yang membuat kita menjadi pokok pangkal dari pembentukan sebagai
manusia autentik. Melalui itu kita bisa menangkap hubungan-hubungan erat yang
mempersatukan cinta dan kebebasan, yang mengikat cita kepada kehematan dan
kesederhanaan. Secara rela melepaskan diri dari apa-apa yang merintangi kita
untuk memberikan diri adalah suatu prinsip kemajuan dalam cinta dalam
kebebasan.
Melepaskan dengan rela, bersikap positif karena
melepaskan diri dari keterbatasan dan kekakuan-kekakuannya, kecongkakan dan
prasangka-prasangkanya merupakan suatu keuntungan atau kemajuan. Pengorbanan (sacrificium) membuat kita masuk dalam suasana suci (sacrum
facere). Dengan membuat kita jadi rela akan sesuatu cinta murni yang tidak
mencari keuntungan diri , pengorbanan itu membuat kita lebih mengabil bagian
dalam cinta yang menghidupkan dan yang berbalas kasihan.
Objek dan
watak kodrati kehendak
Yang dikehendai oleh manusia secara mutlak adalah
kebaikan atau ada sebagai kebaikan. Sepanjang hidup ini, Tuhan tidak dikenal
secara lengkap. Itu sebabnya mengapa manusia bisa tidak cenderung kepada-Nya
pada taraf kesadaran jernihnya. Ia dapat menyimpang dari kebaikan ilahi.
Pengingkaran eksplisit dari Tuhan itu bisa terjadi, karena manusia dapat
berpaling secara eskplisit ke arah objek-objek lain seperti: kehormatan,
kesenangan, kesehatan, kekuasaan dan sebagainya.
Manusia mutlak ingin bahagia, secara objektif,
kebahagiaan berada dalam Tuhan, kebaikan sempurna dan kehendak manusia, menurut
kodratnya sendiri, cenderung kepada-Nya. Akan tetapi, secara subjektif, manusia
membunyai kemampuan untuk meletakkan kebahagiaannya dalam realitas-realitas
lain, yang akhirnya mengarah atau tidak mengarah kepada Tuhan. Kesempurnaan
moral terdiri persis dari menetapkan keserasian yang sebaik mungkin antara
kedua aspek (objektif dan subjektif) dari kehendak itu.
Objek atau arah kecenderungan kehendak manusia
biasanya disebut tujuan. Ini senantiasa adalah suatu kebaikan. Kebaikan ini
berujud material atau non-material, fisik atau moral, riil atau semua. Kebaikan
fisik adalah kebaikan yang baik untuk manusia sebagai suatu organisme dalam
cosmos. Kebaikan moral adalah kebaikan yang baik untuk manusia sebagai ”ada”
yang bebas. Kebaikan semu sesungguhnya adalah sesuatu yang jahat, tetapi tampak
sebagai kebaikan. Kebaikan semu itu adalah kejahatan untuk manusia kalau ia
dipandang dalam keseluruhannya, tetapi kejahatan itu tampak sebagai kebaikan
untuk suatu tendensi yang lebih rendah.
Tujuan termasuk dalam bidang nafsu, sedangkan nilai
tergolong dalam afektivitas. Tujuan adalah yang memikat saya, nilai lebih
merupakan sebabnya, mengapa yang memikat saya menimbulkan daya tarik terhadap
saya. Orang melihat dengan jelas konsep tentang nilai tidak tanpa guna di dalam
filsafat. Justru oleh karena interaksi terus menerus antara inteligensi dan
kehendak itulah, maka manusia adalah suatu makhluk yang bebas. Hubungan antara
kehendak dan intelegensi dapat diperbantingan dengan hubungan yang ada antara
pengerak dan cahaya yang memimpin melalui terangnya. Kehendaklah yang cenderung
kearah kebaikan dan intelegensilah yang menentukan jenis kebaikan kearah mana
kehendak cenderung dalam suatu hal yang konkret.
Peranan kehendak adalam memperhatikan bahwa perumusan
itu dibawahi oleh kebaikan bagi manusia sebagai keseluruhan. Kecenderungan
fisilogis (kelaparan, kehausan, seksualitas) peranan kehendak terutama adalam
peranan pengarahan dan kontrol. Kecenderungan lain (keingintahuan, sosiabilitas,
ambisi, naluri) dapat digunakan secara langsung oleh kehendak. Ia tidak hanya
sekedar manuasai mereka tetapi harus menjiwai mereka dan memanfaatkan
tenaga-tenaga mereka untuk mencapai secara lebih lengkap kebaikan dari manusia
secara keseluruhan.
Keaslian
kehendak
Keaslian itu adalah keaslian pengetahuan intelektual,
walau tidak dapat berada tanpa pengetahuan inderawi, namun sifat lebih tinggi
dan tidak bisa direduksikan kepadanya. Semua perbuatan penguasaan diri (self
control) adalah perwujudan kehendak. Dalam kegiatan jenis itu, kita sadar akan
kenyataan bahwa dalam diri kita terdapat suatu kecenderungan lebih tinggi yang
menguasai kecenderungan-kecenderungan yang lain.
Orang dapat menunjukkan perhatian sengaja yang jelas
dapat dibedakan dengan perhatian spontan. Perhatian spontan ada pada binatang.
Ini adalah pemusatan indera dan otak pada suatu objek yang menguntungkan bagi
suatu kecenderungan tertentu. Pada perhatian sengaja, kita memusatkan indera
pada perhatian sadar kita pada suatu objek yang tidak secara spontan menarik
perhatian kita. Kita memusatkan diri kita
kerana kita menghendakinya, kita memutuskan untuk berbuat begitu. Kita
menhendakinya karena inteligensi kita mengatakan kepada kita bahwa itu adalah
sesuatu yang baik untuk dilakukan. Bandingkan , misalnya perhatian yang
diberikan pada sebuat film polisi yang menegangkan, dengan perhatian yang
berdasarkan keputusan dan ditujukan pada sebuak teks penting dan sulit (untuk
mempersiapkan sebuah kursus atau ujian).
Alasan
membenarkan kebebasan
Kebebasan berarti ketidakpaksaan. Ada macam-macam paksaan dan kebebasan.
Kebebasan fisik adalah ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral adalah
ketiadaan paksaan moral buka atau kewajiaban. Kebebasan psikologis adalah ketiadaan paksaan
psikologis, suatu paksaan psikologis berupa kecenderungan yang memaksa
seseorang untuk melakukan perbuatan tertentu. Kebebasan psikologis disebut juga
kebebasan untuk memilih antara berbagai tindakan yang mungkin. Orang
menyebutnya juga sebagai kualitas kehendak.
Beberapa pemikir modern dan ahli psikologi menginkari
kebebasan kehendak itu. Tiga argumen klasik mengeni
kehendak, yaitu:
1)
argumen persetujuan umum,
sebagian besar manusia percaya bahwa mereka dilengkapi dengan kehendak bebas,
kehendak manusia adalah bebas. Pikiran sehat (common sense) menyatakan
kebabasan itu, kebebasan itu adalah kehendak manusia. Cara orang bertingkah
laku sangat mempengaruhi sikapnya terhadap doktrin kebebasan. Sesungguhnya
bertingkah laku seperti mereka yang mengakui kebebasan kehendak, kehendak
mereka dan kehendak orang lain membawa kita kepada argumen kedua.
2)
argumen psikologis, sebagian
besar manusia secara spontan mengakui kebebasan, sebagai hasil pengalaman.
Secara langsung atau tidak langsung menyadari itu. Kesadaran langsung akan
kebebasan, muncul dari ”aku” saya yang dalam, dari dasar kepribadian saya, dari
kehendak saya yang bebas, kalau saya mengambil suatu keputusan, terutama untuk
sesuatu yang penting dari pihak moral, saya sadar bahwa keputusan itu bebas.
Bagaimana proses kita menjadi sadar tentang siapa itu kita, itu sesuatu yang
sangat berbeda dengan pengetahuan ilmiah atau pengalaman kita sehari-hari.
Kesadaran tak langsung, akan kebebasan keputusan kita. Beberapa tindakan kita
sehari-hari benar-benar kita sedari tidak dapat diterangkan seandainya kita
tidak bebas. Kita berunding sebelum mengambil keputusan, kita mempertimbangan
pro dan kontra, kita menyesalkan keputusan yang lalu ini berarti kita bebas
berbuat yang lain. Kita mengagumi, memuji dan menghadiahi perbuatan baik dan heroik
secara implisit kita menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan itu tidak
dipaksa untuk berbuat demikian. Kebebasan itu justru terdiri atas penguasaan
rintangan – rintangan sejenis itu. Kita mempunyai kesan bahwa kita bebas karena
kita tidak sadar akan motif-motif yang menentukan kita. Suatu keputusan yang
tampak diambil oleh si subjek secara terpaksa , tanpa diketahuinya motif yang
menekannya, bukanlah pilihan bebas, tetapi suatu tindakan komplusif.
3)
argumen etis, seandainya tidak
ada kebebasan, tidak akan ada juga tanggung jawab moral, kebajikan, jasa,
keharusan moral, kewajiban. Hubungan yang kuat antara kebebasan dengan
realitas-realitas spiritual itu jelas dan salah satu tugas dari etika adalam
memperlihatkannya. Alasan itu sangat kuat karena rasa kewajiban moral adalah
sangat wajar pada manusia. Bahkan mereka yang menyangkal realitas-realitas itu
dalam teori kelakukan dalam kehidupan konkret seakan-akan realitas itu memang
ada. Kebebasan adalah suatu pengabdian dari pelaksanaan penilaian rasional,
pembedaan antara yang benar dan yang salah, tetapi kebebasan adalah suatu
mengandaian kehidupan moral. Kita mengakui bertanggung jawab terhadap perbuatan
kita, kita pun berpendapat bahwa orang lain bertanggung jawab terhadap
perbuatan sendiri dan akan tiada artinya kita bersikap demikian seandainya kita
tidak percaya bahwa perbuatan-perbuatan itu sungguh perbuatan seorang pelaku
moral.
Tidak ada kehidupan sosial apa
pun tanpa ada keharusan dan kewajiban. Dalam hubungan dengan orang-orang lain,
kita sadar akan keharusan tertentu yang kita punyai terhadap mereka. Sama halnya bahwa kita sadar akan keharusan-keharusan yang mereka miliki
terhadap kita. Jadi, kita dapat menganggap secara umum manusia bebas.
Sebagai kosenkwensi bisa terjadi bahwa suatu kelompok
mayoritas akan memutuskan pembinasaan suatu minoritas sebagai suatu kebaikan
dan diperbolehkan. Rasa moralah yang membrontak terhadap kedahsyatan sebesar
itu.
Pendekatan empiris, argumen psikologis dan argumen
etis, berdasarkan atas semacam pengalan pribadi dan oleh sebab itu akan
mempunyai nilai hanya bagi mereka yang pernah berkelakuan secara bebas dalam
kehidupan mereka. Tidak mustahil bahwa beberapa orang tak pernah membuat suat
kegiatan pun yang memang bebas dalam keseluruhan kehidupan mereka. Bagi mereka
argumen tersebut tidak sesuai dengam pengalaman mereka dan karena itu tidak
relevan.
Dasar ontologis
kebebasan
Kebebasan manusia tidak hanya
terdiri dari kemampuan untuk melakukan apa yang diingininya. Manusia tidak
berbuat apa yang diingininya, tetapi juga memutuskan apa yang ingin
diperbuatnya: ini atau itu. Apa
yang ingin diperbuatnya tergantung padanya dan ia tidak dikendalikan oleh suatu
paksaan intern. Coba kita melihat tiga tahap yang merupakan suatu yang
kontinuitas yang dinamis yaitu:
1) mari kita tanya, kebaikan manakah akan dapat
memenuhi secara total aspirasi-aspirasi manusia? Semua orang bijaksana akan
setuju menjawab bahwa satu-satunya hal yang akan dapat memuaskan tuntutan itu
adalah yang baik, kebaikan total, sempurna dan tak terbatas . itulah yang
merupakan cita-cita manusia. Keinginan fundamental dari manusia pada akhirnya
adalah kebaikan sempurna atau total.
2) Mari kita bertanya, objek manakah yang dalam
kehidupan ini, yang akan dapat seimbang dengan cita-cita tersebut (objek formal
kehendak)? Kebahagiaan yang sempurna
tidak terdapat di atas bumi ini, manusia hanya menemukan kebaikan-kebaikan yang
selalu kurang.
3) Oleh sebab itu, tidak ada suatu kebaikan
terbatas pun yang dapat memaksa manusia untuk mengikutinya.
Jadi,
kita bebas menghendaki atau tidak menhendaki kebaikan-kebaikan konkret yang
kita hadapi karena tentang mereka semua dapat kita katakan: ini adalah suatu
yang baik, tapi tidak baik secara sempurna. Kita bisa mengucapkan itu sebab
kita melihat bahwa diantara semua hal yang baik itu tak ada satupun yang
seimbang dengan kebaikan sempurna. Lalu apa yang menyadarkan kita tentang
ketidak cukupan tersebut, ialah keterbukaan dinamisme intelektual kita terhadap
keseluruhan yang ”ada”, ”ada” yang mutlak (aspek cognitif) yang dikumandangkan
oleh kebaikan total. Dinamisme lengkap bersifat intelektual dan tendensial
(berkat kehendak), berbentuk spritual (non-material), maka kita bebas karena kita bersifat roh.
Dalam dimanisme total itu,
intelegensi dn kehendak saling berintegrasi secara vital, berkat itulah kita
bersifat roh. Pasti kita adalah roh yang terbatas, namun roh kita, melalui
keterbukaannya yang tak terbatas, menikmati semacam keterbatasan tendensial,
itulah alasan mengapa kita adalah bebas. Manusia tidak akan dapat menyadari relativitas
dari semua yang dialaminya, seandainya ia tidak mempunyai tututan yang
untuk”yang mutlak”. Tuntutan itu memerlukan kehadiran dalam manusia, ”Yang
Mutlak” yang menjamin autentisitasnya.
Saat-saat dari Suatu Pilihan Yang
Bebas
Dalam sutu pilihan bebas, orang
dapat membedakan berbagai saat, keputusan diambil cepat tanpa disadari,saat itu
selalu tampil kalau pilihan adlah benar-benar bebas.
1) daya tarik dijalankan oleh suatu hal baik atas
kehendak, daya tarik seperti itu meskipun normal atau spontan, akan dinamakan
godaan jikalau kebaikan itu sekaligus bersifat jeleh dari pihak kewajiban saya.
2) Saat ini adalah untuk memeriksa hak baik itu
yang menarik perhatian.
3) Saat ini adalah saat mempertimbangkan, pro dan
kontra suatu tindakan dibawah cahaya intelegensi. Nonton atau belajar?
Pertimbangandilihat aspek positif dan negatif.
4) Cepat atau lambat, kita memutuskan: saya
memilih kebaikan ini.keputusan ini bersifat intelektual. Penenryuan final muncul dari intervensi kita,
dari ”aku”kita yang paling dalam, dimana intelegensi dan kehendak menemukan
sumber umumnya. Itulah suatu pilihan yang bebas.
Kecenderungan yang Dominan
Baik atau Kebaikan, adalah
istilah relatif, sesuatu dikatakan baik sehubungan dengan seseorang. Aspek
kebaikan berubah bukan hanya jika objek berubah, tetapi juga kalau subjek berubah. Perubahan
yang lain yang mempengaruhi kita secara lebih dalam. Ini adalah
keputusan-keputusan bebas kita sendiri, kita memilih kebaikan moral dan kita
memperbaiki sendiri secara moral. Maka kecenderungan dominan yang terdiri dari
pengaruh yang semakin besar dari pilihan-pilihan lampau atau pilihan-pilihan
sekarang. Sebagian besar dari kegiatan-kegiatan kita bersumber dari watak kita,
bukan watak spontan yang ditentukan, tetapi dimensi watak yang dikontrol, yang
terhadapnya kita bertanggung jawab sebagian besar, karena dimensi itu adalah
hasil rangkaian pilihan bebas.
Suatu kecenderungan dominan
bukanlah suatu kecenderungan yang mendeterminasikan. Meskipun kecenderungan itu
menimbulkan suatu pengaruh kuat atas kegiatan-kegiatan dari seseorang, namun
tidak pernah dapat memaksa orang itu untuk mengikutinya. Kecenderungan itu
sendiri, sebagaimana dikehendaki dan dijalankan secara bebas, demikian dia juga
dapat dibantah setiap saat, bahkan dibinasakan secara bebas. Itulah sebabnya
orang dapat membedakan tiga kategori fundamental dari kegiatan bebas.
1) kegiatan bebas yang terdiri dari
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kecenderungan dominan.
2) Kegiatan bebas yang bebas yang terdiri dari
kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang kontra kecenderungan dominan, biasa
bersifat egoisme antara positif dan negatif. Penyelewengan dari garis pokok
dalam kehidupan seseorang menunjukkan bahwa kepribadian belum dipersatukan
secara total oleh ideal yang dominan.
3) Kegiatan-kegiatan yang terpenting, tidak hanya
ada penyelewengan kepada kecenderungan dominan, tetapi pemisahan total dari
kecenderungan dominan itu. Orang meninggalkan garis kelakuannya yang biasa dan
mengubah orientasi fundamental kehidupannya.
Kebebasan Horizontal dan
kebebasan Vertikal
Suatu pilihan moral harus
dibuat, keputusan kita tidak akan tergantung hanya dari kepuasan atau
keuntungan yang paling besar. Dalam hal ini, umumnya pilihan akan diambil
antara apa yang paling memuaskan kepentingan kita dan apa yang paling sesuai
dengan suara hati kita yang spritual, antara egoisme dan kemurahan hati, harus
memutuskan pada tingkat mana ia harus hidup. Jenis kebebasan ini disebut
”kebebasan Vertikal”. Kebebasan vertikal, tujuan sendirilah yang
dipertimbangkan, tujuan adalah kebahagiaan.
Pilihan-pilihan (antara A atau
B) itu ditentukan oleh faktor-faktor yang tak terbilang banyaknya, yang timbul
dari pendidikan dan lingkungan. Kebebasan vertikal menyangkut tingkatn di mana
orang ingin membangun seluruh hidupnya. Kekebasan dalam arti yang sebenarnya,
menurut arti sepenuhnya kata itu, hanyalah jikalau nilai-nilai moral
dilibatkan, jika berada di hadapan alternatif-alternatif yang menentukan,
sampai batas tertentu, nilai moral dari seluruh kehidupan kita
Kebebasan adalah suatu kemampuan
yang begitu penting dan begitu besar sehingga hanya dapat diberikan kepada kita
untuk sesuatu yang sangat penting. Melalui kebebasan sejati, kita membagi,
dalam arti tertentu, kekuasaan mencipta sendiri dari Tuhan. Namun, satu-satunya
hal yang dapat kita cipta adalah kepribadian moral kita sendiri dan tampaknya
kebebasan diberikan kepada kita hanya untuk realisasi tujuan tertinggi itu.
Kebebasan
dihadapapkan kepada determinisme-determinisme, pembicaraan menyangkut sebagai
berikut:
1) ada suatu bentuk determinisme yang disebut
determinisme fisik, ialah determinisme hukum-hukum alam semesta sebagai sistem
dunia material. Berbentuk rangkaian kuasa-kuasa dan akibat-akibat, sehingga
manusia tak dapat melepaskan dirinya, pandangan ini mungkin tidaklah benar,
karena kebebasan diletakkan secara salah. Kebebasan terjadi pada tingkat
alasan-alasan atau motif-motif dan bukan pada tingkat sebab – sebab fisik yang
ada.
2) Suatu konsepsi yang lebih mendasarkan biologi
daripada fisik, berpendapat bahwa manusia telah diprogramkan sebelumnya secara
begitu luas oleh berbagai faktor gen-gen (hereditas) , sehingga tidk ada tempat
untuk kegiatan-kegiatan yang memang bersifat bebas.
3) Dari sudut, yang mana manusia begitu
diterminasikanoleh berbagai faktor sosial sehingga ia tidak lain daripada hasil
hubungan sosial. Itulah yang dinamakan determinisme sosiologis. Keputusan yang
dianggap sebagai paling pribadi ditentukan oleh lingkungan sosialnya.
4) Kadng-kadang bukan hanya ilmu-ilmu pengetahuan
manusia saja yang menyangkal kebebasan, terdapat juga determinisme teologis
tertentu. Manusia
sama sekali determinasikan oleh Allah, kemahatahuan Allah, kemahakuasaan Allah.
Jadi tak mungkin manusia bebas.
5) Determinisme yang muncul dari ketidak sadaran.
Psikologi menjelaskan bahwa manusia tekanan dari ketidaksadaran dan pentingnya
kekuatan irrasional dalam aktivitas manusia.
Kesimpulan
1.
Affection (Afektivitas)
Cipta
(kognisi), karsa (konasi), rasa (afeksi), itulah trias-dinamika manusia, atau
manusia sebagai trias-dinamika. Diakui bahwa manusia bukan saja memiliki
kemampuan kognitif-intelektual, tetapi juga afektivitas. Afektivitas juga
membuat manusia berada secara aktif dalam dunianya serta berpartisipasi dengan
orang lain dan dengan peristiwa-peristiwa dunianya. Melalui peranan afektivitaslah,
manusia tergerakkan hatinya, keinginannya, dan perasaannya atau ketertarikannya
untuk mengamati, mempelajari, dan mengembangkan pengada-pengada aktual di
sekitarnya menjadi bagian dari proses keberadaannya. Afektivitas tidak sama
dengan pengetahuan, namun menjadi penggerak atau penyebab dan sekaligus akibat
dari proses pengetahuan manusia dalam arti penerapannya dalam bentuk perbuatan
atau tindakan. Prinsipnya, orang hendaknya tidak terlalu cepat membuat
dikotomi mengenai pengetahuan dan afektivitas. Karena terdapat kemungkinan
bahwa pengetahuan tertentu mungkin hanya tercapai melalui perasaan.
Pengetahuan eksistensial mempunyai sifat sebagai kepastian bebas dan memberi alasan untuk percaya bahwa kebebasan manusia tidak pernah absen dari penegasan intelektual mengenai adanya afektivitas dalam alam pengetahuannya. Cinta (disebut afektivitas positif) atau benci (disebut afektivitas negatif) dapat menjadi dasar penentuan bagi suatu tindakan kognitif. Hal ini tentunya dilakukan melalui suatu dasar penempatan diri yang jelas. Afektivitas bukan hanya tindakan ke arah kebutuhan selera, kecenderungan. atau apa yang jasmaniah saja. tetapi juga spiritual dan intelektual atau intelligible. Afektivitas adalah satu dari unsur-unsur pokok dasariah dari cara berada manusia di dunia. dan satu dari dimensi-dimensi esensial roh manusia. Perbuatan afektif harus dimengerti sebagai segala gerakan atau kegiatan batin yang karenanya subjek ditarik atau ditolak.
Pengetahuan eksistensial mempunyai sifat sebagai kepastian bebas dan memberi alasan untuk percaya bahwa kebebasan manusia tidak pernah absen dari penegasan intelektual mengenai adanya afektivitas dalam alam pengetahuannya. Cinta (disebut afektivitas positif) atau benci (disebut afektivitas negatif) dapat menjadi dasar penentuan bagi suatu tindakan kognitif. Hal ini tentunya dilakukan melalui suatu dasar penempatan diri yang jelas. Afektivitas bukan hanya tindakan ke arah kebutuhan selera, kecenderungan. atau apa yang jasmaniah saja. tetapi juga spiritual dan intelektual atau intelligible. Afektivitas adalah satu dari unsur-unsur pokok dasariah dari cara berada manusia di dunia. dan satu dari dimensi-dimensi esensial roh manusia. Perbuatan afektif harus dimengerti sebagai segala gerakan atau kegiatan batin yang karenanya subjek ditarik atau ditolak.
Jadi, untuk mencapai afektivitas,
subjek harus berada dalam kondisi dimana subjek akan melahirkan kegiatan
afektif. Adapun kondisi-kondisi tersebut ialah:
1. Pertama, antara subjek dan objek harus ada
ikatan kesamaan atau kesatuan itu sendiri, karena ketika tidak ada kesamaan
maka tidak akan ada afektivitas. Sebagai contoh ketika kita berhubungan dengan
sebuah objek maka dalam diri objek terdapat sesuatu yang membuat kita tertarik
atau menjauhinya, sesuatu yang ada pada diri objek pasti juga ada dalam diri
subjek yang akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif baik menerima atau
menolak.
2. Kedua, nilai (baik dan buruk), dalam
kondisi ini, ketika objek dipandang memiliki sebuah nilai maka subjek akan
melahirkan kegiatan afektif, karena afektivitas itu sendiri adalah berdasar
pada kecintaan akan sesuatu maka subjek pada akhirnya akan melahirkan kegiatan
afektif untuk menolak atau menerima.
3. Ketiga, sifat dasariah dan kecenderungan
kognitif, pada kondisi ini subjek akan dalam melakukan sebuah afektif harus
ditunjang dengan sebuah sifat dasariah yang akan mendorong dia untuk lebih
cenderung, selera, berkeinginan akan sesuatu yang pada akhirnya akan
menimbulkan kegiatan afektif yang ternyata memang sesuai dengan sifat dasariah
tersebut.
4. Keempat, mengenal adalah kausa dari
afektivitas. Dalam proses mengenal subjek akan mengalami kondisi dimana dia
harus berusaha mendefinisikan objek yang akan dikenalinya dan ketika definisi
tentang objek tersebut telah tercapai maka pada akhirnya akan lahir sebuah
keputusan afektif apakah dia harus menyerang, mencintai, mempertahankan diri
atau yang lainnya.
5. Kelima, imajinasi. Untuk menimbulkan
kegiatan afektif maka imajinasi dapat menjadi sebuah pendorong, semangat,
mempengaruhi bahkan membohongi. Pengetahuan pertama (baik dari pengalaman atau
informasi dari pengenalan) akan melahirkan sebuah deskripsi awal tentang objek,
maka dalam kondisi ini subjek akan dipengaruhi untuk bertindak seperti apa yang
ia dapat pada pengalaman-pengalaman dan imajinasi yang dia dapatkan terdahulu
2.
Freedom
(Kebebasan)
Aktualitas
ide kebebasan manusia juga didasarkan pada kenyataan adanya perkembangan arti
kebebasan sesuai dengan situasi dan kondisi manusia. Arti dan makna kebebasan
pada jaman sekarang tidak bisa disempitkan hanya pada pengertian kebebasan
dalam masyarakat kuno atau masyarakat pra-modern. Pada jaman penjajahan
kebebasan mungkin lebih diartikan sebagai keadaan terlepas dari penindasan oleh
penjajah. Namun pada masyarakat modern, di mana bentuk penjajahan terhadap
kebebasan juga semakin berkembang, misalnya dengan adanya gerakan modernisasi dan
industrialisasi yang membawa perubahan yang radikal pada cara berpikir manusia,
arti kebebasan juga mempunyai makna yang lebih luas. Kebebasan pada jaman
sekarang bukan hanya berarti sekedar terbebas dari keadaan terjajah, namun
mungkin lebih berarti bebas untuk mengaktualkan diri di tengah-tengah
perkembangan jaman ini.
Kata
kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan,
beban atau kewajiban. Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak
mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar. Manusia yang bebas
adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan
adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya. Manusia disebut
bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas
perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang
mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya. Hal
itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan
internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan
pengarahan diri.
“Freedom is self-determination”. Kebebasan merupakan sesuatu
sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia
dan bukan pada binatang atau benda-benda. Kebebasan yang nampak secara sekilas
dalam binatang-binatang pada dasarnya bukan kebebasan sejati. Mereka dapat
menggerakkan tubuhnya ke mana saja, tetapi semuanya itu sebenarnya bukan
berasal dari diri binatang itu sendiri. Gerakan binatang bukanlah hasil
dorongan internal diri binatang. Kebebasan mereka adalah kebebasan sebagai
produk dorongan-dorongan instingtualnya. Dengan istilah instingtual dimaksudkan
tidak adanya peran akal budi dan kehendak. Dalam arti itu sebenarnya di dalam
diri binatang-binatang tidak ada kebebasan.
Secara
ringkas Louis Leahy membedakan tiga macam atau bentuk kebebasan, yaitu
kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis.
1. Kebebasan fisik menurut Louis Leahy adalah ketiadaan
paksaan fisik. Artinya adalah tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan
eksternal yang bersifat fisik atau material. Dalam konteks ini orang menganggap
dirinya bebas jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan
eksternal. Ia dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik
untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki.
2. Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara
psikologis. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan
untuk mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia
mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif. Yang
men-ciri-khas-kan kemampuan itu adalah adanya kehendak bebas. Karena itulah
Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk memilih
atau kebebasan berkehendak.
3. Kebebasan memilih atau kebebasan
berkehendak
sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil keputusan berbuat
atau tidak berbuat, atau kebebasan untuk berbuat dengan cara begini atau
begitu, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup
dan karya, atau merupakan kemampuan untuk menerima atau menolak
kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus ditawarkan kepada
manusia.